Dua komen yang (kerap) mengganggu

Ijinkan saya menulis tentang sesuatu yang kerap mengganggu, terdengar  agak sarkastik, but please no hard feeling yah.

Mungkin ini adalah kebiasaan kita di Indonesia, dan menurut saya sudah mendarah daging. Parahnya, kebiasaan ini terjadi di hampir semua kalangan. Umumnya diungkapkan dengan maksud berbasa-basi. Cuman lama kelamaan, kok jadi terdengar memalukan yah, hehehe. Kebiasaan apakah gerangan? 


1. Minta oleh-oleh 


Mari kita perhatikan status FB rekan rekan kita yang sedang melakukan perjalanan (entah duty trip atau backpack), pasti komen-komen yang ada banyak yang meminta oleh-oleh. Saya tahu banyak yang menuliskannya hanya sekedar berbasa-basi. Tapi, apa tidak ada komen yang lebih indah yang bisa kita berikan selain minta oleh-oleh. 


Saya tidak pernah jarang meminta oleh-oleh ke teman-teman yang melakukan travel. Karena saya tahu, travel sendiri sudah menguras kocek, apalagi kalau ditambah beban oleh-oleh (tapi ini gak berarti saya menolak lho, kalo dikasih oleh-oleh, hehehehe). But trust me, I never ask my friends for oleh-oleh when they go for traveling. Bahkan saat kakak kandung saya ke Eropa pun, saya tidak meminta apa-apa (dan mungkin karena saya gak rewel, kakak malah pulang-pulang bawain saya jaket sport keren, yippie). Saat saya travel (yang umumnya dengan kocek terbatas), saya hanya membeli oleh-oleh buat Mama dan saudara. Jika ternyata ada budget berlebih, baru saya menambah perbendaharaan oleh-oleh. Intinya, jangan sampai oleh oleh menjadi beban saat kita melakukan travel.   


Saya punya pengalaman buruk dengan oleh-oleh. Waktu kuliah di Jepang selama beberapa bulan, tak terhitung berapa pesanan oleh-oleh dari teman, rekan dan kerabat. Dan saya pun mulai hunting oleh-oleh pesanan mereka sejak bulan pertama di Jepang. Lucunya: Mama dan kakak-kakak malah gak minta apa-apa. Saat akan kembali ke Indonesia: oleh-oleh yang saya kumpulkan ternyata membutuhkan dua kardus besar. Jadi saat ke Bandara, saya membawa satu ransel gede di punggung, satu koper gede, dua kardus besar (berisi oleh-oleh) dan satu kardus kecil (berisi buku penting dan barang pribadi). Setiba di bandara, petugas bandara meminta saya membayar 7 juta rupiah untuk kelebihan bagasi saya. Tentunya saya tidak mungkin membayar ongkos  bagasi sebanyak itu. Semua trik negosiasi saya coba praktekkan namun, it ended up useless. Akhirnya, kedua kardus oleh-oleh itu saya tinggalkan di bandara dan diurus oleh teman-teman saya yang baik hati dan tanpa pamrih (namanya Rebecca dari Taiwan dan Liu Qi dari China dan Pak Yani dari Indonesia). Benda tersebut akhirnya dikirim via laut dengan ongkos hampir dua juta rupiah dan tiba di kos-kosan saya di Makassar 2 bulan setelah saya kembali ke Kota Daeng ini, itupun ada beberapa item yang hilang.


Rebecca dan Kiki, mereka lah yang ngurusin kardus kardus yang kutinggalkan di bandara


Sejak itu, saya mulai agak terganggu dengan orang yang minta oleh-oleh. Saya jadi berpikir, kasihan yang travel kalau harus terbebani dengan oleh-oleh. Saya pribadi tetap beli oleh-oleh di tempat-tempat yang saya kunjungi, tapi saya membatasi pengeluaran untuk itu dan saya sudah mempunyai list list orang yang saya akan belikan oleh-oleh (off course my mom and my sisters are on the top of my list). 




Teman : Pu, katanya baru balik dari luar negeri yah? 
Saya    : Iyah, cuman ke negeri jiran kok. Deket ini ...... 
Teman : Oleh-oleh nya mana? (basa basi yang benar benar basi) 
Saya    : Oh, oleh oleh nya cerita tentang perjalanan saya di sana. Buka saja blog ku :) 
Teman : Ah kalo tulisan mah mana bisa dinikmati. Payah ah... masa ke luar negeri ga bawa oleh oleh.... 
Saya    : hehehehe, kan turis kere (Kalo gak bisa menikmati tulisan, BELAJAR BACA DULU SANA di Kejar Paket A) 


Yup, saya lebih senang menceritakan pengalaman dan membaginya dengan yang lain. Menurut saya, cerita dan pengalaman seseorang yang habis travel sudah merupakan oleh-oleh. Apalagi jika teman yang travel mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi. Cerita tentang tempat-tempat menarik sudah merupakan tambahan pengetahuan yang tak ternilai. Sometimes, your friends' stories can be your new lonely planet resource. 


2. Nanti kirimin GRATIS nya yah ke aku ....... 


Saya pencinta gratisan. Saya pencinta diskon. Saya dulu hapal jadwal diskon makanan di supermarket Jepang yang berlabel "Jusco". Itu saya lakukan untuk berhemat. 


Sayangnya kali ini ceritanya lain. Ini tentang beberapa teman yang sudah dan akan menerbitkan buku. Menerbitkan dan membuat buku adalah hal yang membanggakan. Buku apapun itu. Jika saya boleh bertanya: "Apakah yang akan anda sampaikan kepada teman anda yang akan menerbitkan buku?". 
Sebagian besar pastinya akan menjawab: "Wah hebat.. selamat yah... jangan lupa, nanti kalo bukunya terbit, gua dapat gratisannya yak!!!"


Such an annoying behavior. Guys, menulis blog itu gak mudah lho, apalagi nulis buku. Dalam membuat buku, penulis tidak hanya menangani konten, tapi juga berhubungan dengan publisher, editor, distributor. Mereka bekerja keras demi terbitnya sebuah buku. Berulang kali dikoreksi editor, berkutat dengan publisher, dan bernegosiasi dengan distributor. Bukan hal yang mudah, kawan. Dan setelah semua pengorbanan mereka baik finansial maupun pikiran untuk menerbitkan sebuah buku, apa yang mereka terima dari teman-teman di sekitar mereka?? Yah, permintaan buku gratis. 


Penulis tentunya sudah memiliki list rekan mereka yang berhak menerima buku gratisan. Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan saat kita memiliki teman yang akan atau baru saja menerbitkan buku? 


Follow me. Waktu Andrei Budiman, sang penulis buku Travelous akan merilis bukunya. Andrei mengirim pesan singkat ke handphone saya mengenai buku tersebut. Tak cukup sejam, saya sudah mentransfer uang saya ke rekening Andrei dan memesan 3 buku. Itu bentuk support saya ke Andrei, karena begitulah cara saya menghargai kerja kerasnya, talenta menulisnya dan keberaniannya mempublikasikan bukunya dengan label sendiri. Tanpa diberitahupun, saya sudah tahu kalo menerbitkan buku sendiri sudah sangat menguras kantong. Dan tiga hari kemudian, buku Travellous cetakan pertama tiba di kamar saya lengkap dengan tanda tangan Andrei di halaman awal. Dan ada nama ku tercantum di lembar ucapan terima kasihnya. I feel honored.
 After a long discussion with Andrei, once upon a time in Yogya



Berikut percakapan saya dengan Devil (interview with the devil)


Devil : Ahhh Cipu kan punya duit sampe bisa beli buku 3 biji


Saya   : Masalahnya bukan kemampuan beli buku, kawan. Kalaupun saya kurang duit saat itu, saya akan tetap mencoba memesan. Mungkin cuman 1 buku saja. Disesuaikan dengan kondisi finansial saya. 


Devil  : Kok Cipu yang pusing sih kalo saya minta gratisan? Saya kan teman si penulis juga. Toh kalau bukunya laku, dia bakal dapat banyak kok. Itung-itung sebagai zakat. 
Saya   : (Kalau komennya sudah seperti ini, saya cuma bisa diam. Saya hanya ingin agar usaha penulis diapresiasi, mungkin praktek paling sederhana adalah dengan membeli bukunya. Karena bagi seorang penulis buku, pembelian buku tidak melulu mengenai keuntungan. Jika bukunya laku, tentu sang penulis merasa bahwa kerja kerasnya dihargai oleh pembaca). 


Saya jadi teringat dengan Ayu, yang saking ngefansnya sama Dan Brown, dia sampe bela-belain mesen bukunya, the Lost Symbol. Dan apa yang Ayu peroleh sebagai balasan? Dia tidak hanya menjadi golongan orang yang pertama membaca buku laris ini, tapi juga ada sejumlah merchandise the lost symbol yang ia terima. Keren kan??? 


So Guys, maaf kalo saya agak sarkastik di postingan ini. Ini cuma opini saya. Mungkin ada yang setuju dan mungkin lebih banyak yang tidak setuju. The decision is yours.
Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.