Kemana di Pulau Mana, Fiji?





















Boat berisi 12 orang itu meninggalkan pantai kota Nadi
menuju ke gugusan pulau Mamanuca ke arah utara. 
Air laut yang tenang dan cuaca cerah menyempurnakan perjalanan ke Pulau
Mana, tempat tujuan saya dan Lies. Kami melintasi pulau Beachcomber yang kerap
disebut pulau pesta dan terus menuju ke utara. Di awal perjalanan ke Fiji, saya
merencanakan untuk ke Beachcomber karena itulah satu-satunya pulau yang
direkomendasikan teman Fiji saya. Tujuan saya berubah saat Diana sang
couchsurfing ambassador dari Fiji mengingatkan saya bahwa Beachcomber adalah
tempat yang pas untuk mereka-mereka yang mau berpesta sepanjang malam. Ah, saya
butuh istirahat. Saya dan Lies akhirnya meimilih Pulau Mana, pulau yang kami
tahu hanya dari brosur yang dimiliki Diana.





Boat yang saya tumpangi melambat dan menepi di Pulau Mana
persis di depan sebuah restoran yang bernama Ratu Kini, terdengar sangat
Indonesia kan?. Saya bersama penumpang-penumpang lain mendarat di Pulau Mana
dan kami menuju ke tempat penginapan kami masing-masing. Penginapan saya
dikelola oleh Ratu Kini resort yang juga memiliki restoran Ratu Kini yang saya
lihat saat pertama kali tiba di Ratu Mana. Penginapan saya terletak 200 m di
belakang restoran dan saya harus melalui beberapa rumah penduduk dan sebuah
sekolah advent sebelum tiba di penginapan ala backpacker. Ruang penginapan saya
memiliki 7 tempat tidur dua tingkat dengan 2 toilet dan 1 shower room. 




Sekamar ber-14 di Pulau Mana, Fiji 


 Setelah meletakkan barang, saya dan Lies bergegas
mengelilingi Pulau Mana. Pulau Mana yang tidak terlalu luas sebenarnya bisa
dikelilingi dalam 1 hari, Pulau ini memiliki sejumlah resort mulai dari yang
elit hingga kelas proletar seperti yang saya tempati saat ini.  Pulau Mana juga menawarkan beberapa spot
pantai yang indah layaknya pantai-pantai berair hangat di Indonesia. Pulau ini
didiami oleh penduduk lokal yang amat sangat ramah. Sambil berjalan dari
penginapan, saya dan Lies dihampiri oleh orang-orang lokal yang sangat senang
mendapat kunjungan orang-orang berkulit sawo matang. Mungkin mereka sudah tidak
excited melihat turis-turis berkulit putih yang memang mendominasi tempat ini.







Where are you from (Kalian dari mana)?”, seorang bapak,  warga lokal bertanya.


We are from Indonesia (Kami dari Indonesia),” saya menjawab seramah mungkin.


Oh Indonesia…… We don’t have many Indonesians coming here” (Oh Indonesia, tak banyak orang Indonesia yang datang kesini),
sang Bapak berkata


Really? Perhaps because we have many islands too like
Fiji
,” (Oh yah? Mungkin karena Indonesia juga punya banyak pulau seperti Fiji), jawab saya sekenanya namun tetap dengan senyum dikulum.


Do you know that people in this Island really loves one Indonesian
movie
” (Kalian tahu nggak kalau penduduk pulau ini sangat menyukai sebuah film dari Indonesia) si bapak berusaha membangun percakapan


Wow, which movie?”, (Wow, film yang mana?) Saya yang tak menyangka ada film
Indonesia yang bisa go internasional (maksudnya Go to Fiji) langsung merasa
bangga sekaligus penasaran.


The title is……” (judulnya adalah.....), si bapak berpikir keras …..” OMBAK


Saya dan Lies pandang-pandangan, hah? Ombak? Hmmmm kami
belum pernah mendengar ada film Indonesia judul nya ombak.  Mungkin mereka suka film “Ombak” ini karena
dekat dengan kehidupan mereka di pulau. Begitulah kesimpulan saya yang secara
implisit diiyakan Lies.


Ohhhhh Ombak? Maybe it is a new movie…. It’s about coastal
live and marine and sea and fish, right?
”, (Oh Ombak? Film baru kali yah... Film nya tentang kehidupan pesisir, tentang pantai, laut dan ikan kan?) Saya bertanya menyelidik.


No…. it is actually an action movie, there are so many good
fighting scenes in the movie. I’ve watched Ombak 1, Ombak 2 and Ombak 3
”, (Bukan, itu film aksi, banyak adegan berantem yang keren di film itu. Saya sendiri sudah nonton Ombak 1, Ombak 2 dan Ombak 3), Si
Bapak menjelaskan.


Saya makin garuk-garuk kepala, kok tumben ada film Indonesia
yang saya tidak tahu. Bukankah film action kita yang go international baru the
Raid. Sejak kapan yah ada film Ombak? Sejak kapan pula film ini bisa punya
sekuel 1, 2 dan 3 dan saya tidak tahu tentang itu. Ah mungkin saya nya yang kurang update karena kelamaan di luar negeri. (Yang mau muntah silahkan) 


But the setting is mostly at sea and coastal area, right?” (Tapi lokasi shootingnya kebanyakan di laut dan pantai kan?) Saya masih berusaha menyambungkan film ombak dengan kehidupan masyarakat
pesisir.


No…” (Tidak) si Bapak menjawab pendek dan pamit pergi meninggalkan saya yang merasa bersalah karena kurang mengikuti perkembangan film Indonesia, apalagi film ini adalah film adalah film yang bisa go international dan digemari masyarakat Fiji hingga bersekuel-sekuel. Saya menjadi merasa sangat western dan kurang apresiasi dengan perkembangan film tanah air. Yeah, blame me for this. 









Anak-anak Pulau Mana 


Bukan cuma dengan si Bapak tadi kami berinteraksi. Anak-anak
di Pulau Mana juga tak kalah lucunya. Mereka yang juga takjub melihat turis
yang tak berkulit putih melewati sekolah Advent tempat mereka menuntut ilmu.
Mereka perlahan mendekat ke kami apalagi saat saya dan Lies mengeluarkan
kamera. Beramai-ramai mereka mengelilingi kami, minta difoto dan ingin melihat
hasil bidikan kami di kamera. Saat sedang bercengkerama dengan anak-anak ini,
seorang anak lelaki mendekat dan berkata: “Can I ask you a question?” (Saya bisa bertanya nggak?)


Sure, go ahead”, (Tentu saja, apa pertanyaannya?) Saya membalasnya dengan senyuman biar dia
tidak sungkan mengajukan pertanyaan.


Emmmmmm do you believe in God?”, (Emmmm, kakak percaya sama Tuhan nggak?) tanyanya dengan ragu-ragu


What???? Saya dan Lies saling berpandangan, mencoba berpikir
bagaimana menjawab pertanyaan tak terduga ini dengan jawaban yang bisa membuat
mereka puas. Saya tercekat karena saya tidak menyangka percakapan seperti ini bisa terlontar dari anak-anak usia 10 tahun. Setelah berpikir beberapa jenak, saya mencoba menjawab tapi yang keluar dari mulut
saya cuma “Off course I believe in God” (Tentu saja, saya percaya Tuhan) 


So, do you go to church every week?” (Jadi kakak ke gereja yah tiap minggu?)Dia lanjut bertanya.
Teman-temannya yang lain serius menunggu jawaban.


No… I pray with my own way. Different than that but I
believe in God
”. (Tidak, saya punya cara beribadah sendiri yang tidak mengharuskan saya ke gereja, tapi saya percaya Tuhan). Setelah itu saya segera menutup percakapan dengan meminta
mereka mengajarkan saya sesuatu. “Hey can you guys do me a favor?” (hey, kalian mau menolong saya nggak?)


Anak-anak ini mengangguk.


Teach me how to count in your language from 1 to 10”, (Ajarkan saya berhitung dari 1 sampai 10) kata
saya.


Mereka berebutan menyebutkan angka –angka itu dalam bahasa
lokal Fiji:


“saiva, rua, tolu, va, lima, ono, vitu, wolu, ciwa,
tiniiiiiii…..”, saya mengikuti pelajaran berhitung bahasa Fiji ini dengan
seksama. Sesekali mereka tertawa lepas saat saya atau Lies lupa urutan angkanya. Tak sulit bagi Lies dan saya untuk menghapalkan angka-angka ini mengingat
beberapa kata terdengar homofon dengan angka-angka dalam bahasa Jawa. Anak-anak
ini nampak senang kami bisa mengingat angka-angka dalam bahasa Fiji dengan
cepat. Saya dan Lies bergegas pamit ke anak-anak ini untuk selanjutnya
menikmati pantai dan pemandangan Pulau Mana.





Berkali kali saya berpapasan dengan orang-orang lokal, dan
tak henti-hentinya pula mereka tersenum sambil berkata “Bula…” salam khas Fiji.
Ah sungguh ramah orang-orang ini.












Snapshots of Mana Island, Fiji 


Siang dan sore itu saya habiskan bersama Lies dengan
menyusuri pantai pulau Mana.  Saya
menyempatkan diri menikmati mandi di pantai Pulau Mana yang berair hangat.
Mandi di pantai menjadi sebuah ritual yang eksklusif bagi saya mengingat betapa
tidak bersahabatnya suhu pantai-pantai di Melbourne.  Mandi di pantai di Fiji jadi mengingatkan saya
dengan pantai-pantai berair hangat di Indonesia.  Sebagian perjalanan kami juga dituntun oleh
seekor anjing yang saya beri nama Bula yang terus mengikuti kami dan
menunjukkan jalan menuju ke beberapa spot pantai indah namun tersembunyi dari
pantai-pantai lainnya. Sayangnya, si Bula tak bisa terus bersama kami karena
dia berpindah hati ke segerombolan cewek-cewek Eropa yang melintas di depannya.
What a dog hehehe.







Hari pertama di Pulau Mana sungguh menyenangkan. Cuaca
cerah, ombak ramah, pantai indah dan penginapan yang bersih dan murah. Tak ketinggalan
staf penginapan serta penduduk yang sangat ramah dan tidak mata duitan.
Beginilah seharusnya sebuah tempat wisata dikelola. Turis jangan disodorkan dan
ditawarkan berbagai barang dan jasa dengan setengah memaksa. Biarkan sang turis
yang melihat dan membeli barang/jasa nya jika mereka suka, bukan karena
terpaksa. 





Epilog:


Sepulang dari Pulau Mana saya mencoba bertanya ke
teman-teman penggemar film tentang film action berjudul Ombak 1, 2 dan 3.
Namun, teman-teman saya semuanya menggelengkan kepala tentang film Ombak. Iseng
iseng saya google dan apa yang terjadi? Ternyata film action yang dimaksud
adalah film action yang berasal dari Thailand yang berjudul “ONG BAK”.  




The famous "OMBAK", errr I mean "ONG BAK" 




Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.