Bidan Tsanawiyah a.k.a Tanta Aji



Kampung saya, Rappang, di Kabupaten Sidenreng Rappang
merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten kami, setelah ibukota Kabupaten.
Letaknya kurang lebih 200 sebelah utara Makassar. Bagi kalian yang pernah ke
Toraja, pasti kalian melewati kampung halaman saya ini. Seperti laiknya kota
kota kecamatan di Indonesia, kota saya ini memiliki sebuah pasar Sentral yang
buka setiap Selasa, Jumat dan Minggu, memiliki sebuah lapangan olahraga dan
sebuah monumen yang menjadi landmark kota kecil saya ini. Rappang tak memiliki
tempat tujuan wisata, mungkin karena kota nya yang landai dan tak memiliki
lansekap alam yang menarik





Sawah Sawah di Rappang 








Tak banyak yang tahu atau sadar bahwa Rappang memiliki
sejumlah spot spot favorit untuk berfoto berupa pemandangan sawah dengan siluet
gunung yang menjadi latar belakangnya, spot foto pre-wedding yang saya yakin
tak kalah dengan spot spot pre-wedding bersetting modern. Selain itu, tak pula
banyak yang tahu bahwa kota kami ini memiliki sejumlah spot penjual bakso
terenak di dunia (ini testimoni teman-teman dari Jakarta dan Makassar yang
kebetulan berkesempatan makan bakso di Rappang). Berbicara tentang wisata
kuliner, kabupaten saya sangat terkenal dengan Palekko Itik nya, atau kerap
disebut nasu palekko, yakni sajian bebek dengan bumbu pedas yang nendang.
Sayangnya, tak banyak turis yang tahu tentang ini, dan tak banyak pula orang
lokal yang menganggap bahwa hal hal yang saya sebutkan di atas adalah potensi
yang bias dikembangkan di Sidrap, hehehe.





Bakso kampung yang enak tiada tara 




Cukuplah saya berbicara tentang kota kecil saya, saat nya
saya kembali ke inti postingan ini. Dua atau tiga decade sebelumnya, jumlah
dokter yang ada di kampung saya sangat terbatas dan untuk bisa mengakses jasa
seorang dokter pun, terkadang kami harus mengeluarkan kocek lebih dalam serta
harus patuh pada jam jam praktek dokter yang memang terbatas.











Saat saya kecil, saya sangat rentan terhadap penyakit, badan
saya kurus (jauh dari penampakan sekarang) serta kurang nafsu makan (sangak
kontras dengan nafsu makan saya saat ini). Untuk berobat, tentunya almarhumah
Ibu saya yang adalah guru SD dan almarhum Bapak saya yang pekerjaannya tukang
jahit, tidak selalu mampu membayar biaya dokter.  Orang tua saya menjatuhkan pilihan pada bidan
yang jumlahnya cukup banyak di kampung saya. Dan yang menjadi langganan
keluarga kami adalah ibu Bidan Tsanawiyah, yang kerap saya panggil “Tanta Aji”
(artinya kira kira Tante Yang Sudah Berangkat Haji).









Tanta Aji sudah menjadi langganan orang tua saya sejak dulu.
Kakak-kakak saya dan Orang Tua saya juga menjadi langganan pasien Tanta Aji.
Tanta Aji sendiri orangnya mungil dan sangat supel. Tarifnya pun sangat
bersahabat dengan kocek, tak jarang saya “free of charge”.  Tanta Aji juga kerap tidak memberi saya obat
jika dirasa saya cuma butuh istirahat, saya diberi permen hisap vitamin C yang
dikemas seperti obat. Bagi Cipu kecil, kalau kemasannya sudah seperti obat
meski isinya vitamin, yah tetap Obat, hehehe.









Begitulah kisah kedekatan keluarga saya dengan Tanta Aji.
Teman-teman sekolah saya pun banyak yang menjadi langganan Tanta Aji. Satu hal
yang saya sukai tentang Tanta Aji adalah beliau dapat diakses kapanpun,
termasuk saat tengah malam dan pertolongan urgen dibutuhkan. Maklum lah waktu
kecil, kami belum mengenal istilah IGD atau UGD. Kami mengenal Bidan Tsanawiyah.









Saat saya kuliahpun saya masih menjadi golden member di
klinik Tanta Aji. Setiap kali sakit di Jakarta atau tempat tempat lain yang
pernah saya tinggali, saya kerap membayangkan bisa mengunjungi klinik tanta aji
di kampung saya. Saya menyenangi kehangatan beliau pada pasiennya dan keakraban
beliau pada orang orang yang dirawatnya, hal yang jarang saya jumpai di
Jakarta. Tanta Aji juga tidak pernah over-charged saat pasiennya membayar,
sepertinya beliau mengerti latar belakang pasiennya dan tahu betul kemampuan
membayar pasiennya. Another reason why people love her. Oh iya, Tanta Aji
termasuk orang yang sangat excited saat saya mendapatkan kesempatan bisa
bersekolah ke luar negeri. Well to her, I am always her sweet little boy.










Ruang kerja Tanta Aji 




Lebaran kali ini, lagi-lagi saya bertemu dengan Tanta Aji.
Saya sempat sungkem dengan beliau dan mencium tangannya serta memeluknya.
Pertemuan saya dengan beliau sebenarnya bukan karena lebaran, Kebetulan, tante
saya di hari lebaran kemarin menderita demam, flu dan batuk dan tak banyak
praktek/klinik yang buka di hari yang fitri itu. Dan salah satu yang buka di
kampung saya adalah klinik Tanta Aji. Tadi subuh, kakak saya menderita diare
dan lagi lagi saya harus berkeliling mencari pertolongan pagi pagi, dan lagi
lagi tempat praktek yang buka jam 5.30 tadi subuh adalah klinik Tanta Aji. Sekarang
kondisi kakak saya dan tante saya sudah agak membaik (Thanks to Tanta Aji yang
tetap buka pada hari Idul Fitri dan buka klinik subuh-subuh untuk bisa
diakses).










Bu Aji sedang beraksi




Pengalaman saya dua hari ini sungguh membuat saya
berkontemplasi betapa berjasanya beliau dalam kehidupan kami. Saya yakin
teman-teman juga memiliki tanta aji tanta aji yang sama dengan saya. I do not
know, what would my family do without her.





Lesson learned dari Tanta Aji bagi saya adalah "Respect is not earned by how high your degree is, it is earned by how committed you are to your job and how do you connect to your patient".  





From the heart of the City of Rappang, Taqabbalallaahu Minnaa wa Minkum, Shiyaamanaa Wa Shiyaamakum.

Mohon Maaf Lahir Batin yah Guys 







Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.