Sejak pengalaman trail run pertama saya di Salak Halimun, saya merasa agak kapok membayangkan medan trail run yang berat serta pengalaman kaki saya yang keseleo dua kali. Sejak ikut trail run pertama, beberapa teman telah mengajak saya untuk ikut trail run lagi di sejumlah tempat. Semuanya saya tampik dengan alasan: saya belum punya sepatu yang pas buat trail run, sepatu trail lama saya tidak cukup protektif terhadap kaki kiri saya yang gampang keseleo (yah ini cuma alasan saja sebenarnya). Sejak itu, tawaran untuk trail run menjadi sepi, saya pun makin rajin ikut road race di beberapa tempat.
Hingga di suatu pekan, teman-teman Cibubur Runners (Burners) sangat ramai mendiskusikan trail run ke Gunung Pancar. Melihat animo yang begitu besar, saya pun memberanikan diri untuk mendaftar. Alhamdulillah, nama saya masuk di urutan sekian belas dari dua puluhan rekan Burners yang mendaftar. Harapan saya cuma dua: bisa menyelesaikan trail run tanpa cedera dan bisa menikmati pemandangan indah Gunung Pancar yang tersohor itu.
Hari H keberangkatan, beberapa teman-teman yang telah mendaftar membatalkan keikutsertaan. Subuh yang gerimis romantis itu memang membuat orang orang enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Saya juga hampir ikut batal, tapi saya sudah kadung bilang iya semalam sebelumnya. Saya bergegas sholat dan menuju Lawson Kota Cibubur, meeting point kami. Saya masih berharap hujan turun deras saat itu biar ada alasan untuk bisa kembali tidur. Saya tiba di Lawson pukul 04.30, disusul Davi (anak baru Burners), Didit (Kapten Burners), pak Patrap (pemuka Burners) dan Bang Edo (pemuka Burners). Jam 5 kurang, tim yang berjumlah lima orang meninggalkan Kota Wisata menuju ke Sentul. Dalam perjalanan hujan turun dengan derasnya yang membuat kami hampir memutar balik kendaraan untuk pulang. Namun, sudah ada pak Joan dan pak Harris yang sudah kadung sampai di Sentul. Tim kami terpaksa melanjutkan perjalanan ke Sentul.
Ternyata memasuki Sentul, hujannya berhenti. Kami parkir di Taman Budaya Sentul dan bertemu dengan Pak Joan dan Pak Harris yang sudah duluan tiba. Setelah pemanasan secukupnya, rombongan kami mulai mengikuti jalan yang menurun dan berbelok ke arah Jungle Land. Sebelum sampai di Jungle Land, kami menikung memasuki perkampungan penduduk, mengikuti jalan setapak untuk selanjutnya mulai menanjak memasuki kawasan ilalang. Saya yang baru dengan jalur ini memilih lari di belakang biar bisa mengikuti yang di depan, sekaligus menjaga agar kaki berpijak di permukaan yang rata demi meminimalisir keseleo. Selain itu, tim saya kali ini sudah pada khatam sama trail run jadi pace nya sudah tidak dipertanyakan lagi. Apalah saya ini dibanding mereka? cuma remah-remah Khong Guan dan sebulir Jasjus.
Run Burners Run |
Serasa shooting Twilight |
Mata mulai dimanjakan saat memasuki kawasan hutan Pinus saat memasuki kilometer tiga. Rasanya menyenangkan bisa berlari membelah hutan pinus di lintasan berbatu. Sungai-sungai kecil yang mengalir diantara hutan pinus makin membuat suasana pagi itu menjadi menyejukkan. Jalanan masih terus menanjak dan kami yang awalnya masih kuat berlari-lari, sekarang berganti moda menjadi jalan santai sambil menghirup udara Gunung Pancar yang bersih.
Setelah jalur menanjak, kami memasuki perkampungan penduduk dengan pemandangan alam serba hijau dan menyegarkan mata. Perkampungan yang kami lalui juga memiliki jalur turunan yang curam. Beberapa rekan tim dengan lincahnya menuruni jalanan kampung berbatu dengan lincah. Sedangkan saya menyusuri turunan terjal itu sambil mengerem di setiap langkah, sambil mencari pijakan pijakan rata di setiap langkah, maklum udah tua #eh?. Perjalanan menurun tadi dilanjutkan dengan track menanjak, menurun dan menanjak lagi. Begitulah rute yang tim kecil kami lalui, mirip mirip Ninja Hattori lah: mendaki gunung lewat di lembah, sungai mengalir indah ke samudera. Kalau yang ini sungai nya mengalir ke Kali Ciliwung. Memasuki kilometer 5, kami beristirahat sejenak di sebuah warung di penghujung tanjakan sambil berfoto-foto di look out point depan warung.
Ini Bang Edo, lagi ngapain yah? |
Great view, isn't it? |
Emeeijing |
Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju ke kawasan ber-Curug (air terjun). Perlu diketahui bahwa kawasan Gunung Pancar, Kecamatan Babakan Magadang ini memiliki sejumlah air terjun yang cantik. Pengelolaan tempat-tempat wisata ini dilakukan dengan swadaya masyarakat. Yang membuat saya salut adalah meski dengan minim fasilitasi, masyarakat terbukti mampu menjada ketertiban dan kebersihan tempat ini dengan baik. Selama berlari, kami selalu disambut oleh senyum dan sapaan ramah masyarakat. Sepertinya mereka sudah terbiasa kedatangan pelari trail.
Kami diminta membayar Rp 10.000 per orang untuk masuk ke kawasan Leuwi Pariuk. Dan di kawasan ini sendiri, tujuan wisatanya bisa bercabang cabang: Leuwi Pariuk, Leuwi Demang, Curug Putri Kencana, Luewi Baliung dan Leuwi Panjang. Dengan opsi sebanyak itu, kami cuma pasrah kemanapun kepala tim membawa kami.
Kami melewati sebuah air terjun kecil di kilometer ke tujuh dan lanjut menyusuri pinggiran sungai berupa jalan setapak. Rasa lelah berjalan dan berlari seolah terbayarkan dengan sungai berair jernih yang mengalir di samping kami di sepanjang jalur ini. Memasuki kilometer ke delapan, kami akhirnya sampai di sebuah air terjun yang lebih besar dengan jembatan bambu di atasnya. Gunanya sebagai wahana untuk menyalurkan hasrat selfie alay pengunjungnya, termasuk saya. Kami pun nongkrong di salah satu warung yang bertebaran di sekitar air terjun dan mulai memesan makanan ringan. Dari air terjun kami dengar suara percikan air menandakan bahwa lagi ada yang latihan loncat indah ke dasar air terjun. Ternyata mereka adalah gerombolan pecinta skuter yang berpapasan dengan kami tadi di bawah. Setelah mereka selesai main air, giliran rombongan kami yang tidak tahan untuk tidak segera nyemplung. Airnya memang terlampau jernih untuk diabaikan. Tanpa dikomando, satu per satu kami turun ke air terjun sambil ketawa ketiwi. Rasanya benar benar menyegarkan, kaki, betis dan paha kami yang tadinya nyut-nyutan abis nanjak dan turun seketika hilang karena sejuknya air sungai. Pak Patrap dan Pak Harris malah mencoba loncat dari tebing yang lebih tinggi ke dasar air terjun, tak lupa adegan gelayutan ala Tarzan mabok. Sungguh hiburan yang menggelikan.
Begini nih kelakuannya kalau masa kecil terlampau bahagia |
L-Men 2017 |
Suegeeeeerrr |
Selesai mandi, kami mengisi tembolok dengan masakan kampung yang enak. Saya yang lagi diet nasi (ditabok piring), memesan indomie rebus pake cabe tiga. Yassalaaam, nikmatnya benar-benar tak terkira. Sambil mengeringkan pakaian, kami makan, berfoto dan bercanda ditemani suara air terjun di sebelah. Setelah baju agak kering, kami pun menyusuri jalan yang kami tempuh tadi untuk kembali Sentul. Didit mengusulkan untuk naik ojek ke taman Budaya dan akan menjemput kami di dalam perjalanan pulang, kami yang sudah kekenyangan langsung mengiyakan. Kami yang tersisa melanjutkan trail run kami menuju arah pulang. Setelah berjalan dan berlari sekitar 4 km plus tanjakan setan sejauh 1 km, kami akhirnya bertemu dengan Didit yang membawa mobil jemputan kami di kawasan hutan Pinus. Setelah ngaso sejenak sambil minum air kelapa, kami beranjak pulang.
Indomie seleraku, apa seleramu? |
Pak Patrap ditinggal ojek |
Semangat lari abis nyebur |
Ah pengalaman trail yang menyenangkan. Ini sebenarnya lebih mirip tamasya daripada trail, makanya namanya trailmasya. Syukurlah saya tidak cedera selama trail run kali ini. Mungkin karena memang jalurnya pas untuk pemula seperti saya. Untunglah kami tidak jadi mengurungkan niat pagi itu. Kalau sampai urung, kami pasti tidak akan bisa menikmati pemandangan Gunung Pancar yang asri. Buat teman-teman yang tertarik untuk trail run bersama Cibubur Runners saat akhir pekan, silahkan hubungi saya yah di cipu.civil@gmail.com
Beri Komentar Tutup comment