Makanan adalah tantangan utama yang saya hadapi kalau sedang travel karena agama saya melarang beberapa jenis makanan untuk dikonsumsi. Terkadang tantangan ini semakin berat saat berkunjung ke negara-negara yang makanan pokok penduduknya bukan nasi. Ini saya alami saat berkunjung ke New Zealand. Makan burger dan roti tiap hari membuat saya eneg, tak jarang saya akhirnya harus menyeret langkah ke Chinese Restaurant demi sesuap nasi (halah). Namun, lama-lama bosan juga dengan menu yang itu itu mulu.
Untungnya saya selalu tinggal di backpacker hostel yang pasti punya dapur umum. Namun syaratnya: piring, gelas, dan perabotan lain harus dicuci setelah digunakan demi kemaslahatan bersama. Hehehe. Saya jadi berpikir untuk memasak selama perjalanan, selain menghemat biaya memasak di dapur umum juga membuat saya bisa berakrab ria dengan para penghuni lain yang datang dari berbagai negara. Lewat acara masak memasak ini pula saya banyak mendapat tawaran tumpangan mobil ke beberapa kota yang akan saya kunjungi, namun harus saya tolak karena saya sudah pesan tiket bus jauh sebelum saya berkunjung ke New Zealand.
Lokasi backpacker hostel yang bersebelahan dengan Novotel di Christchurch,. Lokasi backpacker hostel biasanya di pusat kota |
Saat bertandang ke Christchurch, tak sengaja saya lewat di depan toko asia. Harap-harap cemas, saya masuk dan berharap menemukan ada bahan makanan Indonesia atau Malaysia di dalam toko ini. Setelah berkeliling kesana kemari, mata saya langsung tertumbuk pada kardus mie goreng Indomie di salah satu sudut ruangan.Eureka!!!. Saya langsung beli beberapa bungkus, serasa menemukan harta karun di tengah kebas nya lidah ini sama roti, burger, corn flakes dan sejenisnya.
Sang kasir toko langsung bisa menebak asal saya saat membayar mie goreng:
“You are from Indonesia, right?”
“Yeah, how do you know?”
“Man, you have the look and you are buying Indomie”, kata sang kasir sambil tersenyum.
Saya hanya bisa cengengesan gak jelas di depannya.
Setiba di hostel, saya bergegas ke dapur buat mempersiapkan makan malam dengan main course mie goreng Indomie. Maklumlah lidah ini sudah rindu sama makanan dengan cita rasa Indonesia. Berbekal pengetahuan dasar memasak mie instan, dalam sekejap mie goreng pun terhidang sempuran di atas piring. Seorang Jerman yang kebetulan berada di dekatku sepertinya tertarik dengan mie goreng instan ini, soalnya dia masak pasta yang butuh waktu lebih lama untuk tersaji. Selain itu, aroma mie goreng memang khas dan menggugah selera, si Jerman pun sempat icip-icip sedikit dan dia suka rasanya.
Saya mulai menyantap mie goreng di depan saya dengan lahap. Untuk makan malam kali ini, sengaja saya masak dua porsi untuk diri sendiri. Terdengar maruk, yah namanya juga lagi ngidam makanan Indonesia. Lagi asyik makan mie goreng, seorang cewek Korea duduk di dekatku membawa roti dan selai. Saya tak begitu mempedulikan kehadiran cewek ini karena saya sedang asyik dengan mie goreng di depan saya. Si cewek pun mulai menyapa:
“Hey, is that Mie Goreng?”
“Yup, mmmmm how do you know Mie Goreng?”
“I am a big fan on Mie Goreng. It is famous in my country”
“Really?”
“Yup, I like it. Where did you buy it?”
“I bought it in the Asian store, three blocks from here”.
Dan percakapan pun mengalir, mulai dari lokasi toko asia tempat membeli mie goreng tadi sampai rencana kami untuk bertemu dan berkeliling Melbourne bersama-sama. Wah berkah indomie nih saya jadi dapat teman baru.
![]() |
Sang penyelamat kantong (picture is taken from http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Indomie_(pack).jpg) |
Pengalaman menarik lainnya adalah saat saya berkunjung ke Queenstown. Di kota ini, saya berkenalan dengan pasangan Filipina yang sedang liburan, Ruel and Leah. Kami berkenalan saat melakukan trip bersama ke Milford Sound. Pertemanan kami terjadi karena simbiosis mutualisme antara saya dan mereka. Mereka butuh rekan untuk mengambil foto mereka dan saya pun demikian. Saya pun menjadi fotografer mereka dan mereka jadi fotografer saya. Ruel dan Leah ternyata menetap di Auckland dan mereka menawarkan rumah mereka sebagai akomodasi jika saya akan berkunjung ke Auckland.
Malam terakhir saya di Queenstown, Ruel dan Leah mengundang saya makan malam di rumah teman Filipina mereka yang menetap di Queenstown. Saya langsung disambut hangat oleh keluarga ini, mereka juga ternyata tahu banyak tentang Indonesia. Kami banyak membahas persamaan beberapa kata dalam bahasa Indonesia dan Tagalog, serta banyolan khas Indonesia dan Filipina. Saat sedang mengobrol, saya mencium aroma yang tak asing. Aroma makanan yang sangat khas. Saya langsung bertanya ke Gigi, sang punya rumah.
“Gigi, I think I smell Mie Goreng”.
“Yah, Cipu it is Mie Goreng. Our family love Mie Goreng, especially Matthew, my son.”
Wah bangga rasanya mendengar Indomie dikenal banyak orang. Malam itu saya tak hanya merasakan kehangatan keluarga Filipina namun juga kebanggaan bahwa ternyata ada produk Indonesia yang bisa dikenal oleh banyak orang.
Konon, di Nigeria Indomie sudah menjadi makanan pokok. Iklan Indomie di Nigeria bisa dengan mudah ditonton di youtube. Orang-orang Nigeria malah berpikir bahwa Indomie yang di Indonesia itu diimpor dari Nigeria. Ah ada-ada saja mereka. Kalau diimpor dari Nigeria bukan Indomie dong namanya, tapi Nigemie.
Beri Komentar Tutup comment