Bertemu anggota dewan

Kesempatan itu akhirnya datang juga. Sudah lama saya menunggu-nunggu waktu bertemu dengan para anggota DPR yang terhormat. Saya sangat penasaran dengan justifikasi kunjungan kunjungan kerja mereka ke luar negeri. Akhirnya mereka datang juga ke Australia dalam sebuah kunjungan berlabel Kunjungan Kerja Panitia Kerja RUU Fakir Miskin. Kebetulan para utusan komisi 8 ini mau menyempatkan diri berdialog dengan para mahasiswa dan warga Indonesia yang bermukim di Melbourne. Sejumlah wacana telah beredar di kalangan mahasiswa di Melbourne, rata-rata bernada negatif, banyak yang merasa bahwa Kunjungan Kerja itu bahasa ilmiah nya jalan-jalan, samalah dengan studi banding ala banyak mahasiswa yang sebenarnya tak jauh jauh dari jalan-jalan. Sebenarnya Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) telah melayangkan surat terbuka ke DPR mempertanyakan kunjungan kerja ini, namun apa balasannya: kunjungan kerja ini telah lama direncanakan, sudah sulit untuk dibatalkan. (my first sigh, you'll have many sigh in this post)


Sehari sebelum dialog, Pak Kadir Karding (sang ketua rombongan) menyempatkan diri untuk berdiskusi via radio PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) dunia yang dipanel dengan wakil ketua PPIA, Dirgayuza Setiawan. Dari diskusi awal di radio ini, saya sudah menangkap banyak kejanggalan dalam kunjungan ini, meski pak Ketua Rombongan mengatakan bahwa kunjungan kali sangat produktif karena mereka bertemu dengan banyak pihak dan beroleh banyak masukan. Satu statament menarik dari beliau, "Saya dipilih oleh 70 ribu orang di dapil saya, dan tak satupun dari mereka yang protes tentang keberangkatan saya ke luar negeri". Well, are you sure Pak? Yakin, gak ada satupun yang protes dengan kunjungan Bapak ke luar negeri. 


Sabtu, acara dijadwalkan mulai pukul 18.00 waktu Melbourne. Saya yang sempat ketinggalan tram, telat 10 menit. Tapi syukurlah, acara belum dimulai. Saya menyempatkan sholat dan bercakap-cakap dengan beberapa kenalan. Hampir pukul 19.00, para anggota komisi VIII datang. Kami dipersilahkan untuk makan malam dulu, sebelum dialog dimulai. Yah mungkin dengan anggapan bahwa para mahasiswa ini tak akan banyak bertanya kalau sudah kenyang. Well, let's see.... 





musim gugur di Melbourne menyambut Panja RUU
Acara akhirnya dimulai dengan pembukaan oleh Pak Sapto Hadi dari Konsulat Jendral RI di Melbourne. Beliau menyampaikan profil penduduk Indonesia yang ada di Melbourne, serta beberapa event yang akan diadakan di Melbourne dalam waktu dekat. FYI, acara ini diliput radio PPIA dunia serta disebarluaskan live reportnya via twitter dengan hashtag DPRinMEL. Setelah itu, acara inti dimulai. Pak Kadir Karding membuka acara dengan memperkenalkan  anggota tim yang datang. Total ada 11 orang anggota komisi delapan plus 5 orang pendamping. Sesi perkenalan berlangsung hangat, Pak Kadir membawakannya dengan ramah dan menyenangkan. Pak Kadir lanjut menceritakan tentang misi mereka ke Australia. Beliau mengatakan bahwa anggota rombongan belum istirahat sejak memulai perjalanan dari Sydney. Dari penjelasan beliau, komisi VIII ternyata telah bertemu dengan beberapa pihak diantaranya Islamic Fahd School (untuk belajar penanganan sekolah swasta a.k.a madrasah dan sekolah agama lainnya), Asosiasi Muslim di Australia (untuk mendiskusikan multi-kulturalisme), Centrelink (salah satu institusi yang menangani suku Aborigin di Australia) serta dengan majlis ulama setempat (untuk mendiskusikan tentang sertifikasi halal). Pak Kadir juga menyayangkan semua media yang selalu menyalahkan anggota DPR. 


Selain itu Pak Karding juga memaparkan tentang RUU yang sedang digodok oleh Komisi VIII diantaranya RUU Fakir Miskin, RUU Kebebasan & Perlindungan beragam, RUU ZIS (Zakat Infaq Shadaqah), RUU Jaminan produk halal, RUU Keadilan dan kesetaraan gender, RUU Pendidikan yg dikelola masyarakat swasta. Alasan mereka memilih Australia adalah karena jaraknya dekat (cost effective), Australia memiliki struktur jaminan kesejahteraan sosial yang luar biasa dan sistem pendidikan swasta yang mumpuni. Saya manggut-manggut dan sedikit merasa bahwa kunjungan ini ternyata tak semubazir yang saya bayangkan, meski pertanyaan dasar saya belum bisa dijawab. 


Acara selanjutnya sesi tanya jawab. Tanya jawab direncanakan untuk 2 sesi. 3 penanya untuk sesi pertama dan 3 penanya untuk sesi selanjutnya. 
Sesi pertama: 
Pertanyaan pertama dari saudara Bagus, yang mengutarakan bahwa dana untuk kunjungan ini menurut berita adalah Rp 811 juta, yang jika dibagi dengan jumlah rombongan akan sama dengan Rp 50 juta perorang. Dengan jumlah seperti itu, sebenarnya dana yang digunakan jauh melebihi kebutuhan hidup selama seminggu di Australia. 
Pertanyaan Kedua, lupa nama penanyanya, menanyakan tentang pluralisme di Indonesia 
Pertanyaan Ketiga, saudara Dirgayuza, yang mempertanyakan betapa susahnya mengakses dan menghubungi anggota dewan terkait transparansi keberangkatan mereka ke Australia. Selain itu, Yuza juga mempertanyakan alasan mengapa mereka tidak mengunjungi kantong kantong fakir miskin di Northern Territory, malah ke Sydney, Canberra dan Melbourne. 





Melbourne Central Dome
Tibalah sesi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: 
Saya bingung harus mulai menceritakan apa? Karena saya terus terang tidak bisa menangkap apapun dari jawaban-jawaban yang dikemukakan dari Bapak/Ibu kita yang terhormat ini. Salah seorang anggota dewan memberikan jawaban bahwa dana yang digunakan untuk perjalanan ini mendekati angka 811 juta seperti yang diberitakan, namun beliau enggan menyebutkan berapa... Apakah 1 Milyar, apakah 900 juta atau apakah 899 juta, we never know. Yah itulah yang kita sebut dengan transparansi. Pak Kadir juga membantah kalau anggota DPR sulit untuk dihubungi, menurut beliau hape nya aktif 24 jam dan setiap SMS pasti dibalas. Akhirnya ditantang oleh forum yang menanyakan langsung no hape beliau serta email addressnya. Beliau akhirnya menyampaikan no hape dan email nya yang ternyata menggunakan yahoo saudara saudara. 


Beberapa anggota lainnya juga berkesempatan memberikan pandangan mereka. Dan dimulailah perjalanan melelahkan itu. Salah seorang "curhat" tentang anggaran DPR yang cuma 3 persen dari anggaran APBN lengkap dengan penjelasan tentang tataran konseptual dan tataran praktis. (Pak, kalau tahu itu, kenapa mau jadi anggota DPR? Kalau mau anggaran nya hemat, yah jangan ke luar negeri mulu dong). Dilanjutkan dengan anggota lain yang merasa ada suasan kebatinan saat berada di Melbourne (Oh my Lord, kedengarannya seperti cenayang, yang pasti suasana kebatinan di ruangan dialog itu begitu menyeramkan). Selain itu kami mendapat pelajaran tambahan bahwa sebuah negara harus memiliki unsur legislatif dan eksekutif (Maaf Bu, kurang unsurnya, seharusnya tambah dengan yudikatif menurut trias politica, OMG itu kan pelajaran PMP kita, saya masih ingat kok Bu).  Pertanyaan kami yang sebenarnya sederhana membutuhkan jawaban yang sederhana. Namun, entah kenapa jawabannya jadi panjang dan bertele-tele. Sepertinya memang disengaja agar kita tidak punya waktu lagi untuk sesi kedua. Yuza segera memotong dan mengatakan bahwa waktu kita terbatas, dan menyarankan untuk segera lanjut ke sesi kedua. 


Apa yang terjadi kemudian? Para pemateri ini enggan untuk memulai sesi kedua dengan dalih kecapekan dan butuh istirahat. Kontan, mereka mendapatkan booooooo panjang dari hadirin. Yuza masih keukeuh meminta perpanjangan, dan akhirnya diluluskan. Ada satu pertanyaan dari rekan di Taiwan yang prihatin dengan image anggota dewan yang harus segera dipulihkan. Seorang teman saya, Andri ikut nyeletuk dan mempertanyakan skema apa yang akan digunakan untuk fakir miskin di Indonesia? Apa jawaban yang diperoleh Andri? Jawabannya adalah: kemiskinan itu ada 3 level yakni mendekati misskin, miskin dan fakir miskin (CMIIW) (Halooooooooooooooo Pak, itu bukan jawaban yang kami minta, teman kami bertanya tentanf SKEMA APA, bukan  klasifikasi fakir miskin, may day may day). 


Saya juga sempat memotong permbicaraan dan menanyakan, kalau memang ke Aussie cuman buat ketemuan, kenapa tidak pake teleconference saja biar lebih hemat anggaran. Apa jawab yang saya terima: "Wah itu susah teknisnya", kata pak Kadir. Saya balas lagi: "Gampang kok Pak,tinggal bikin akun". Ada juga yang nyeletuk "Mau gak pak diajarin pake skype, saya mau pak ngajarin". Hadirin makin antusias bertanya, namun para anggota Dewan ini mengatakan bahwa uneg uneg kami bisa disampaikan ke email komisi. Kami tidak puas, kami desak pertanyaan tentang alamat email komisi delapan. Aksi saling tunjuk anggota DPR pun berlangsung karena tak satupun yang ingat alamat email komisi delapan. Salah seorang staf ahli berdiri dan menyebutkan alamat email dengan lantang: 


"KOMISI DELAPAN AT YAHOO DOT COM" 


Kontan, seisi ruangan terbahak. WHAT? Tidak ada yang yang alamat dpr.go.id yah Pak. Kok Yahoo sih, gampang di hack dong.


Akhirnya pertemuan itu berakhir sedikit panas. Beberapa teman mencoba menulis email ke:
komisi8@yahoo.com 
komisiviii@yahoo.com
komisidelapan@yahoo.com


komisi8@yahoo.co.id
komisiviii@yahoo.co.id
komisidelapan@yahoo.co.id


apa yang terjadi? Semuanya bounce back, alamat emailnya gak ada yang benar. Jadi alamat email yang benar yang mana yah. Saya sih berpikir, mungkin alamat email nya yang benar adalah: k0M151d3L4P4n@yahoo.com  


Kejadian ini memang sudah bisa saya prediksi, saya cuman ingin membuktikan apa benar kata media. Jawabannya: kurang lebih benar. Semoga PPI PPI lain di seluruh dunia bisa berinisiatif mengawasi para anggota dewan kita yang melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Tentunya banyak jenis aksi yang bisa dilakukan dan tidak ada yang salah selama itu dilakukan dengan tertib dan sesuai aturan. Ada juga rekan PPI yang pernah menguntit anggota dewan yang shopping dan mempublikasikannya di media.


Semoga menjadi pembelajaran bagi semuanya. Semoga kunjungan kerja bisa lebih transparan, lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih bisa memberi manfaat. Saatnya juga mempertimbangkan penggunakan teknologi informasi untuk mengumpulkan data tentang kebijakan di luar negeri. Saatnya belajar menggunakan skype atau mungkin yahoo messenger untuk teleconference, toh mereka mereka punya account yahoo kan?  Atau alih alih mengirim belasan orang ke luar negeri, kenapa nggak expert luar nya saja yang didatangkan ke Indonesia. 





Mungkin banyak yang bertanya, kenapa juga ada yang mau datang ke dialog seperti ini. Saya justru merasa harus datang karena dengan menyuarakan pendapat langsung di depan mereka, kegalauan setidak nya bisa disalurkan dan didengar meski mungkin tak ditanggapi. Ketimbang memaki tak jelas, alangkah lebih patutnya jika pendapat tersalurkan langsung mumpung para anggota dewannya berkunjung ke Melbourne. Doing one little action is better than doing nothing, CMIIW. Setidaknya mereka juga belajar bahwa mereka diawasi, dan perjalanan mereka ke Australia toh tetap mendapat tantangan keras dari para mahasiswa yang ada disini. At least, it is not a smooth journey for them. 



Bagi yang mau membaca evaluasi Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) tentang kunjungan PANJA Fakir Miskin silahkan berkunjung ke sini.





Ini hanya pendapat subjektif saya, silahkan beropini



Oh iya, baru saja Yuza sang wakil ketua PPIA, mengusulkan agar video dialog kami dimasukkan ke dalam postingan ini. Bagi yang penasaran, silahkan simak video berikut ini.





Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.