Saya kembali ke Indonesia untuk menikmati liburan sekolah terpanjang yang pernah saya alami seumur-umur. Saya sudah tak ada kuliah sejak 10 November 2011 dan baru akan memulai aktifitas akademik tanggal 28 Februari 2012, lumayan lah buat menyegarkan otak yang memang sudah hampir mendidih. Rencana mengisi liburan pun sudah saya rancang jauh-jauh hari. Tujuan saya kali ini adalah: SIDRAP. Where the heck is that? Itu maksudnya di kampung halaman saya. Ada banyak hal yang saya mau kerjakan di kampung halaman saya, namun yang paling utama adalah menghabiskan waktu bersama keluarga.
Sudah sebulan setengah sejak kepulangan saya ke Sidrap, tak banyak yang saya bisa update. Blog terbengkalai karena koneksi internet di kampung yang "antara ada dan tiada", kegiatan utama saya adalah mengupil di rumah sambil nonton TV yang isinya sinetron, gosip atau menonton Islam itu Indah (Okkotsnya banyak soalnya). Sesekali saya ke Makassar kalau ada undangan ngumpul dari teman. Salah satu kegiatan ngumpul-ngumpul saya di Makassar sempat diliput oleh salah seorang teman blogger Makassar di sini
Ada satu pertanyaan tabu yang tak sopan ditanyakan kepada para pelajar yang berlibur ke kampung halamannya: "Sudah naik berapa kilo?". Wuiiih ini pertanyaan amat sangat sensitif untuk ditanyakan. Apa pasal? Mereka yang pulang kampung pasti mencari-cari makanan-makanan yang jarang atau tidak pernah didapatkan di tempat mereka menuntut ilmu. Dan sekali makan pasti nombok. Fenomena inipun menimpa saya kali ini. Saya jadi merasa menyaingi pak Bondan dalam mencoba kuliner-kuliner kampung. Sudah pasti berat badan saya naik. Kalo ditanya "naik berapa?", saya tak akan menjawab. Sudah cukup lama saya tak bersahabat dengan timbangan badan dan sejenisnya. Meski saya di kampung rajin bersepeda, bahkan berhasil menghidupkan kembali klub bersepeda yang mati sure, serta rajin bermain bulu tangkis sampe kaki keseleo, toh kegiatan-kegiatan menghambur-hamburkan keringat ini tetap tak berpengaruh banyak dalam menekan laju kenaikan berat badan yang meningkat secara eksponensial ini.
barobbo', berbahan dasar jagung dan paling enak dimakan dengan.... ikan kering |
Setelah dipikir dan dianalisa, nampaknya kenaikan berat badan (yang entah berapa kilo) yang saya alami saat ini bermuara pada beberapa sebab:
- Mama saya rajin memasak dan saya adalah anak yang menghormati jerih payah orang tua. Mama tahu persis menu favorit saya adalah ikan kering, sayur bening, perkedel jagung dan sambel tumis. Sejak kedatangan saya, entah sudah berapa banyak ikan kering yang masuk ke perut ini. kadang saya sudah pesan ke mama kalo saya gak makan malam, namun mama tetap masak. Dan sebagai anak yang berbakti dan menghormati jerih payah mama (hueeekkk), saya pun icip-icip sedikit masakan mama yang kerap berujung pada dua piring nasi plus lauk (ALAMAK!)
- Semboyan makan nggak makan asal kumpul terpatri sangat kuat dalam jiwa tetangga-tetangga saya. Balai bambu di depan rumah tiap hari dijadikan ajang mengumpulkan lauk dan makan bersama. Tetangga sebelah kanan dan kiri rumah saya nampaknya memang suka makan sambil ngumpul-ngumpul. Jadwalnya bisa di pagi hari, siang hari bahkan bisa malam hari. Bertukar lauk atau numpang makan di rumah tetangga sudah bukan hal tabu lagi di rumah yang baru keluarga kami tempati selama setahun ini.
- Bakso di kampung saya adalah bakso terenak di dunia. I mean it. Teman-teman dari Jakarta yang pernah main ke kampung saya sangat merindukan bakso dari kampung saya. Bakso-bakso enak ini tersebar di seantero kampung saya yang diasuh langsung oleh Mas Sukiman, mas bakri, mas minuk, mas Slamet dan mas-mas lainnya. Dengan mematok standar 10 ribu rupiah per mangkok, tak ayal jika bakso menjadi jajanan yang paling banyak dikonsumsi di kampung saya. Saya sendiri adalah pemegang gold member di bakso mas Bakri. Positifnya adalah, saya jadi banyak tahu perkembangan kampung kalo makan di warung ini. (Warung Bakso adalah tempat bertemunya orang-orang di kampung, heheheh)
- Jajanan di kampung, meski murah namun tetap berukuran jumbo. Nampaknya, para pembuat jajanan memang memihak konsumen kalo di kampung. Standar harga jajanan di kampung adalah Rp. 1.000 per biji. Dengan harga segitu, saya kadang kalap belanja jajanan pagi-pagi dan mau tak mau jajanan tersebut harus dihabiskan. Favorit saya adalah pastel kampung, martabak mini dan katiri sala (makanan khas bugis).
- Ajakan ketemuan artinya ajakan makan. Menjamu tamu menurut adat kami adalah dengan menyediakan makan. Dan sepertinya itu sudah harga mati. Salah seorang teman saya dari Mexico sampai menggeleng-geleng kekenyangan saat disuguhkan makan terus-menerus oleh keluarga saya saat dia menghabiskan beberapa hari di kampung saya. Pun dengan ajakan ketemuan, saya kerap diajak ketemu teman untuk ngobrol, dan tempat paling afdol untuk ngobrol tak lain dan tak bukan.... WARUNG BAKSO. Saya yakin si Mas penjual bakso sudah hapal benar pesanan makanan saya: baksonya ga pake mie dan ga pake mangkok LOL
Cooking with neighbors |
Daily routine: meals with neighbors |
Inilah kelima alasan utama mengapa saya menambah berat badan di kampung. Padahal saya ingat banget sebelum liburan saya sudah bertekad baja untuk membatasi asupan makanan saat mudik, dengan dalih kesehatan. Namun, harus diakui pesona ikan kering, bakso, jajanan pasar memang sulit untuk dibendung. Damn. Saya berjanji saat pulang kembali ke Melbourna, saya akan rajin berolahraga dan..... menerapkan pola makan sehat, hehehe. Trust me....
Beri Komentar Tutup comment