"Cipu, kamu udah dimana?", suara panik terdengar saat saya memutuskan mengangkat telepon yg terus bergetar padahal hape baru saya nyalakan dan saya masih dalam pesawat yang baru landing.
"Saya baru mendarat, Lies. Sabar yah," saya membalas dengan suara tak kalah cemasnya.
"Cepetan yah, check-in nya udah mau tutup. Begitu turun pesawat, segera ke Terminal 1 yah", balasnya.
"Ok, antriin saya yah". Klik. Dan telepon pun ditutup.
Pesawat Qantas baru mendarat di Sydney pukul 06.45 pagi di terminal 3. Dan saya harus segera melanjutkan perjalanan ke terminal 1 dengan bus yang tentunya bisa memakan waktu lebih dari 15 menit. Dalam hati, saya mengutuk si mas counter check in di Melbourne yang mengatakan bahwa saya hanya bisa check in untuk pesawat Melbourne - Sydney dan untuk selanjutnya saya harus check-in lagi di Sydney. Nah, kalau flightnya mepet seperti ini plus harus pindah terminal, bisa saja rencana yang sudah saya susun selama 3 bulan hancur berantakan.
Lies terus membombardir saya dengan telepon dan sms, saya cuma bisa pasrah dan berharap perjalanan mencari kehangatan kali ini tidak gagal hanya karena saya telat check-in dan karena miskomunikasi antara kru check in pesawat di Melbourne dan Sydney. Saya berlari terus ke Desk H untuk check in begitu bus antar terminal menepi dengan manis di Terminal 1 Airport Sydney. Untungnya check-in masih buka dan Lies nampak lega begitu melihat wajah saya dari kejauhan. Yes, akhirnya bisa check in. Btw, saya mau kemana yah?
Cerita ini berawal di sebuah malam di bulan Maret saat saya sedang belajar sambil facebookan. Saya menemukan iklan diskon besar-besaran Jetstar. Saya yang sudah dari dulu penasaran dengan Fiji, segera menelusuri harga tiket dan hari yang pas di bulan Juni, berharap bahwa saya menyelesaikan thesis dan tugas mata kuliah tepat waktu. Ternyata harganya sepertiga harga normal, segera saya kontak Lies via twitter, saya mencari travel buddy selama disana. Lies yang kuliah di Adelaide tidak butuh waktu lama untuk membeli tiketnya, lumayan liburan murah ini.
Setelah itu kami jarang kontak, kami sama sama tenggelam dalam tugas kuliah dan thesis yang benar-benar menyita waktu. Waktu biologis saya jadi berubah karena harus begadang tengah malam demi bisa mewujudkan impian mulia bisa ke Fiji. Tidur setelah sholat Subuh pun kerap dilakukan demi memperoleh mood menulis di tengah malam (FYI, saya adalah tipe manusia yang lebih jernih berpikir setelah jam 11 malam). Itinerary di Fiji tidak pernah saya diskusikan dengan Lies, karena kami benar-benar tidak punya waktu untuk sekedar ngobrol atau chat di internet tentang perjalanan kami. Saya baru sempat memikirkan itinerary, malam terakhir sebelum saya berangkat. Itupun karena tugas terakhir saya bisa diselesaikan persis malam terakhir sebelum saya berangkat. Untungnya Lies berhasil mendapatkan tumpangan buat kami via teman couchsurf di Nadi, salah satu kota di Fiji.
![]() |
Fiji di peta, retrieved from http://funinfiji.files.wordpress.com/2011/03/au_map.gif |
Banyak yang bertanya: Fiji? Dimana itu Fiji? Itu nama negara yah, kok gak pernah dengar. Saya sangat maklum itu. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Australia memang lebih akrab dengan New Zealand dibandingkan Fiji. Fiji adalah sebuah negara kepulauan di Pasifik yang beriklim tropis. Fiji dikenal sebagai negara yang bermoto: "sea, sand and sun" atau laut, pasir dan matahari. Fiji memang identik sebagai kawasan pantai dengan berbagai spot wisata laut yang layak dijelajahi. Bagi yang pernah menonton Cast Away yang diperankan oleh Tom Hanks, lokasi film ini adalah di gugus kepulauan Mamanuca di Fiji. Bagi penggemar reality show Survivor, pasti pernah menyaksikan Survivor edisi Fiji. Penggemar film lawas mungkin tidak akan melupakan keindahan panorama yang ditawarkan di film film "Blue Lagoon" dan "Return to the Blue Lagoon". Itu sekilas info tentang Fiji, mungkin memang agak susah mencari Fiji di peta dunia karena yang muncul hanya berupa titik atau lingkaran kecil.
Sambutan hangat musisi lokal |
Perjalanan 4 jam dari Sydney ke Nadi (Fiji) berjalan lancar dan kami mendarat dengan mulus di bandara internasional Nadi. Saya yang mengenakan jaket tebal oleh-oleh musim dingin di Melbourne, tiba-tiba kegerahan begitu mendarat. Saya yang berangkat subuh dari Melbourne dengan suhu 5 derajat Celcius, serasa mendapat anugerah tiba di tempat yang bersuhu 27 derajat, uhuyyyy. Fiji memang beriklim tropis, kelembaban dan temperaturnya mirip dengan Indonesia. Kami disambut dengan nyanyian khas Fiji oleh sekelompok grup musik lokal. Samar-samar terdengar seperti nyanyian daerah Maluku. Saya melepas jaket saat mendekati imigrasi, rasanya sungguh senang bisa ber-oblong ria, bercelana pendek dan bersandal jepit lagi. Setiap bertemu dengan staf bandara kami disambut dengan senyum manis dan salam khas Fiji:
"BULA"
Yah, Bula Fiji, Bye bye jaket tebal.
Beri Komentar Tutup comment