Bekerja kantoran setiap hari, selalu menjadi alasan saya untuk tidak secara reguler menekuni kegemaran saya berlari. Biasanya memang saya meninggalkan rumah pukul 06.30 - 07.00 menuju ke kantor setiap hari, jadi memang praktis saya agak susah meluangkan waktu untuk berlari di hari kantor. Alasan ini pulalah yang menjadikan saya menjadi weekend warrior, alias aktif berolahraga hanya pas weekend saja. Lama kelamaan, intensitas olahraga saya memang menjadi makin berkurang, kerap saya melewatkan berolahraga di akhir pekan karena waktu akhir pekan pun saya sering ada agenda keluarga atau sesederhana karena saya mulai malas berlari. Sayangnya, berkurangnya intensitas berolahraga tidak membuat nafsu makan saya berkurang, makan dan ngemil saya malah makin banyak lantaran selalu tak kuasa menahan keinginan saat diajak jajan oleh teman kantor. Ringkasnya, celana-celana kantor mulai terasa mengecil, pun pergerakan terasa kian berat.
Di pertengahan Maret 2020, situasi berubah. Merebaknya wabah COVID-19 menyebabkan kegiatan kantor saya berubah, dari yang semula KDK (Kerja dari Kantor) menjadi KDR (Kerja dari Rumah). Efeknya adalah saya jadi lebih punya banyak waktu di rumah sebelum mulai kerja di jam 9. Waktu 1,5 -2 jam yang semula saya gunakan sebagai waktu berangkat kantor menjadi free time saya sejak bekerja dari rumah. Dasar sayanya malas, saya malah memperpanjang tidur, bukannya mengisi waktu dengan produktif. Sampai saya disindir sama istri sembari bercanda, "Mumpung WFH, kenapa ga coba lari lagi aja pagi-pagi, mumpung ada waktu. Itu perutnya sudah kemana-mana". Mendengar itu, saya membatin iya juga ya, sudah lama saya tidak lari. Terakhir lari ya di bulan Februari, itu pun hampir pulang pake gojek karena sudah ngos-ngosan di tengah jalan. Saya berkaca setelah selesai mandi, iya benar, itu perut sudah kayak buntelan. Saya lanjut menimbang, timbangan saya di angka 73 an kilogram, masuk ke kategori overweight dalam hitungan Indeks Massa Tubuh (BMI).
Tanggal 17 Maret 2019, saya tidak tidur lagi setelah sholat subuh. Segera saya memasang kembali sepatu lari Asics saya, hadiah dari istri karena telah menjadi suami yang baik (hueek). Tekad saya sudah bulat, saya akan rutin berlari lagi selama masa WFH, targetnya minimal 4 kali seminggu di jarak-jarak pendek (5 km). Awal-awal lari, kaki terasa sangat berat, nafas terasa berat, bawaannya pengen udahan terus. Demi waspada COVID-19, rute lari saya yang biasanya mengitari cluster ke cluster di kompleks perumahan berubah menjadi berlari hanya dalam cluster saja. Saya pun menghindari berlari berjamaah demi kemaslahatan bersama. Hari pertama berlari lagi, rasanya sangat berat, saya sampai buru-buru ke penjual air kelapa dekat rumah demi bisa memulihkan tenaga. Lutut terasa agak nyeri di hantam gravitasi dan berat badan saya, plus nafas terasa berat saat berlari. Besoknya, saya coba lari lari dengan jarak yang sama 5 km, rasanya lebih ringan dari hari pertama. Saya coba lagi besoknya, terasa makin enak saat berlari. Akhirnya, selama WFH saya istiqamah berlari tiap pagi dengan jarak 5 km. Saya hanya skip lari saat cuaca sedang tak bersahabat, sayang sepatu barunya kalau kena hujan (dasar pelit). Meski jalur larinya itu-itu saja, saya tidak bisa komplain. Saya berusaha mengalihkan kebosanan saat berlari dengan mengecek Garmin di tangan, sambil melihat pace berlari atau sekadar membayangkan saya sedang berlari di World Major Marathon. Tokyo Marathon here I come, hahaha ngayal tingkat dewa ini mah.
Lonely runner, the pic was taken way before COVID-19
Memasuki Ramadhan, terbersit keinginan untuk berlari malam hari seperti yang saya lakukan di Ramadhan beberapa tahun lalu. Namun, karena saya sudah ada anak, yang kerap menuntut untuk main di malam hari, saya sepertinya kurang bisa lagi untuk berlari malam. Pilihan saya akhirnya jatuh pada sore hari menjelang berbuka puasa. Biasanya, jam jam sore itu, Baby Kei masih tidur dan istri saya masih bisa menemani Kei saat bangun. Menu buka puasa Ramadhan kali ini yang memang sengaja tidak heboh, membuat istri saya tak perlu terlalu repot untuk persiapan buka puasa. Jadinya istri saya bisa menemani dan menunggui Kei yang tidur sore.
Berlari di bulan puasa tentu saja tak bisa disamakan dengan berlari di luar bulan Ramadhan. Fungsi berlari di bulan Ramadhan harusnya ditujukan untuk menjaga kebugaran dan meningkatkan daya tahan tubuh, sehingga berlari secara berlebihan juga tidak dianjurkan. Bagi yang mau coba lari di bulan Ramadhan saat bulan puasa tahun-tahun depan, ada beberapa trik yang bisa dicoba biar larinya aman, bermanfaat dan tentunya barokah:
- Kurangi jarak dan intensitas lari. Kalau sebelum Ramadhan saya biasanya berlari 5 km dengan kecepatan normal lari saya, sejak bulan Ramadhan, saya mendiskon jarak lari saya menjadi 3-4 km dengan kecepatan lari yang lebih pelan.
- Perhatikan asupan cairan. Kegiatan berlari sangat menguras cairan dalam tubuh, makanya saat ada race atau event lari, selalu ada water station di setiap 2,5-3 km untuk menghindari terjadinya dehidrasi pada pelari. Nah di bulan Ramadhan, asupan air kita tak lain adalah air minum yang masuk ke tubuh mulai buka puasa hingga sahur. Jadi, diupayakan tetap minum yang banyak ya sehabis buka hingga waktu sahur. Selain itu, alasan saya memilih lari di sore hari adalah agar tubuh saya bisa segera terisi cairan begitu selesai lari.
- Jangan memaksakan diri. Ingat, olahraga di bulan Ramadhan bukan untuk meningkatkan intensitas, tapi lebih untuk menjaga kebugaran.Yang lebih tahu tentang kondisi diri, ya kita sendiri. Kita biasanya sudah memiliki kemampuan untuk menilai mau lari sejauh berapa km, nah coba ikuti insting itu dan jangan memaksakan diri untuk berlari terlalu jauh atau ke jarak normal saat kondisi tubuh tidak sepenuhnya berada dalam kondisi prima. Intinya, know your limit
- Tetap patuh pada physical distancing. Dengan adanya wabah COVID-19, acara berlari berjamaah bersama komunitas lari sebaiknya dicoret dulu dari agenda lari, lebih aman jika lari dilakukan sendiri. Saat berpapasan dengan orang lain atau pelari lain saat berlari, amannya tetap jaga jarak minimal dua meter. Kalau mau menyapa teman, tetangga atau pelari lain saat berpapasan, cukup lambaikan tangan saja, tak perlu cipika cipiki dan lanjut ngerumpi di tenda makan pinggir jalan.
- Hindari menggunakan masker saat berlari. Nah ini juga menjadi kontroversi, beberapa artikel menyarankan para pelari yang akan berlari outdoor di masa pandemi untuk mengenakan masker demi menghindari potensi meyebarkan atau terpapar virus. Namun, informasi yang beredar belakangan menyatakan bahwa menggunakan masker saat berlari bisa menyebabkan paru-paru kolaps, karena pada saat berlari tubuh kita membutuhkan oksigen dua kali lebih banyak. Sedangkan, menggunakan masker dapat menghalangi jumlah oksigen segar yang masuk ke dalam tubuh. Saya sendiri merasa sangat tak nyaman mengenakan masker saat berlari, dan memilih berlari di kompleks tanpa masker, namun patuh pada aturan physical distancing.
Trik diatas saya pegang teguh saat berlari di masa pandemi ini. Hingga akhir Ramadhan, saya masih rutin berlari di sore hari. Hasilnya, nimbang kemarin, berat saya sudah turun di angka 66,5 kg dengan Indeks massa tubuh yang sudah masuk ke berat normal. Semoga kondisi ini bisa bertahan ya setelah pandemi selesai.
My BMI journey, may you stay below 25 and never rise again. Amen
Dengan berlari, tak hanya badan yang terasa sehat, namun juga pikiran yang terasa segar. Seperti kata Elle Woods dalam Legally Blonde,
"Exercise gives you Endorphins, and Endorphins makes you happy". This is what I love about WFH, I got time for myself hehe.
Beri Komentar Tutup comment