Empat tahun yang lalu, saya pernah mendapatkan penugasan ke Nias. Awalnya pengen girang tapi gak jadi, soalnya jatah saya di Nias hanya semalam dan itupun tugasnya masuk ke pedalaman. Saya udah kebayang naik mobil double cabin, jalan berbatu tanpa aspal, dan seluruh badan yang pasti rasanya habis digebukin setelah perjalanan.
![]() |
Tim Nias |
Untuk penugasan ke Nias, saya akan menemani beberapa rekan kerja saya dari Kantor Dubai dan mitra dari China. Saya jadi merasa lagi pertukaran pemuda, nge-trip bareng sama orang asing. Cuma bedanya yang saya temenin trip bukan pemuda lagi, cuma saya dan si Timur Tengah doang yang terbilang muda, ehem. Tim saya ada satu orang Jerman, satu orang Timur Tengah, dua orang China dan saya sendiri sebagai orang Swiss (baca: Sulawesi Selatan) serta satu kolega orang Indonesia lainnya.
Jam 4.30 subuh kami meninggalkan hotel kami di tengah kota Medan menuju bandara Kualanamu, karena pesawat ke Nias akan take off pukul 07 pagi. Sekitar pukul 5.30 kami sudah di Kualanamu dan ternyata pesawat kami di delay sejam. Yah tahu gitu tadi saya masih bisa lanjut tidur di hotel, gak perlu bangun kepagian macam orang yang lagi mau sahur. Berhubung tiba lebih awal, si Jerman dan Timur Tengah yang memang sahabatan memilih ngopi di salah satu cafe di bandara. Saya dan yang lain memilih istirahat di ruang tunggu. Dari sekian teman perjalanan kali ini, saya sepantaran dengan si Timur Tengah, boleh dikata saya lebih tua dikit, tapi dia nampak jauh lebih tua dari saya hahahaha.
Drama pertama dimulai dari cafe tempat si Timur Tengah dan si Jerman nongkrong. Sebuah teriakan dari cafe itu membuat saya bergegas menghampiri mereka di cafe. Si Timur Tengah nampak ketakutan sambil menunjuk ke bawah, kakinya diangkat ke kursi sebelah. Si Jerman ngakak di sampingnya. "What just happened?" (Tadi kenapa?), tanya saya.
Si Timur Tengah masih dengan nada tinggi setengah berteriak, "I saw a big rat, it ran across my feet. That's so disgusting, it is as big as a kitten" (Tadi saya lihat tikus besar, melintas dekat kaki saya. Tikusnya menjijikkan, ukurannya sebesar anak kucing). Oalaaah, saya yang tadinya mikir dia ditodong oleh perampok, langsung lega abis itu ikutan ngakak sama si Jerman. Ada tikus toh melintas. Meski memang aneh aja sih, di cafe sebagus itu ternyata bisa kemasukan tikus, tapi memang reaksi si Timur Tengah ini memang berlebihan. Selidik punya selidik, ternyata si Timur Tengah ini emang anak orang kaya di negaranya dan memang kerjanya dugem kiri kanan. Punya usaha tempat dugem beberapa biji. It explains. Abis itu saya juluki dia City Boy, dia mau protes, tapi si Jerman juga udah kadung menjuluki dia City Boy. Begitulah akhirnya kami memanggil dia City Boy, toh dia memang gak pernah tahu kehidupan desa kayak apa.
Di pesawat di perjalanan ke Nias, si City Boy nampak tak berselera dengan snack box yang dibagikan pramugari. "Why don't you open it?" (Kotak makannya kok ga dibuka?), tanya saya. "I still have that rat in my mind" (Saya masih kepikiran tikus yang tadi), kata si City Boy dengan wajah tak berselera. Hahahaha dasar lebay.
Rocking Nias |
Sampai di Gunung Sitoli Nias, kami langsung diangkut dengan mobil doube cabin dan meluncur ke pedalaman Nias. Setelah 2 jam perjalanan, mobil kami sudah mulai meninggalkan aspal mulus, masuk ke jalan jalan berlubang. Selang 30 menit kemudian, mobil kami memasuki jalan berbatu yang memang tidak sembarang kendaraan bisa lewat. Beberapa kali driver nya harus berhenti untuk memastikan jalan depan kami masih bisa dilewati atau tidak. Seiring dengan kondisi jalan yang makin buruk, pemandangan justru makin cantik. Kami melewati perbukitan hijau dengan suara gemericik air sungai di lembahnya. Tak hanya itu, udara yang dihirup pun terasa makin fresh sejak masuk ke daerah pedalaman. Masyarakat yang kami temui pun sangat ramah, maksudnya ramah campur terheran-heran melihat ada beberapa orang asing yang sampai ke desa mereka. Yang lucu adalah saat mobil kami harus melewati sungai menggunakan jembatan yang terbuat dari batang pohon kelapa. Si Jerman turun dari mobil sambil mengarahkan mobil agar pas melaju di atas jembatan. Salah sedikit, mobil bisa terperosok masuk
![]() |
Kapan lagi bisa hire expert sekalian kenek dan tukang parkir |
Saat tiba di lokasi survey, kami mulai wawancara dengan beberapa orang di desa sambil mengamati kondisi sekitar. Si City Boy yang memang baru pertama kali masuk ke desa nampak sangat tertarik mengamati keadaan sekitar. Saya iseng nanya, "Do you wanna see pig?". Matanya langsung terbelalak "Yes I want to see pig, so far I only know pig once it is served on my plate" (Iya saya mau lihat babi langsung, saya selama ini cuma lihat babi dalam bentuk makanan yang terhidang di atas pirinf). Ckckckck dasar anak kota.
![]() |
Kegirangan liat babi pertama kali dalam hidupnya |
Akhirnya saya izin pamit ke salah satu warga untuk melihat kandang babi nya di halaman belakang. Saya dan si Timur Tengah pun berpisah sejenak dengan tim yang lagi survei. Kami diikuti beberapa anak-anak desa yang pengen melihat orang asing bertemu dengan babi untuk pertama kalinya. Si City boy nampak agak agak takut untuk mendekati kandang babi awal-awalnya. Saya ikut menemani sampai dia benar-benar nyaman untuk melihat babi jarak dekat (padahal kandangnya dalam kondisi tertutup jadi babinya tidak berkeliaran). "The smell is terrible" (Baunya gak enak ya), kata si City Boy. Saya balas saja "What do you expect? Lavender odor?" (Lah emang kamu bayangannya baunya kayak gimana? Bau bunga Lavender?). Dia tersenyum kecut. Si City Boy nampak sangat girang setelah berhasil mengabadikan gambar babi di kandang. Tadinya dia mau kirim foto babi itu langsung ke tunangannya tapi karena sinyal tak cukup baik untuk mengirim gambar, niatnya ditunda.
Menjelang pukul 2 siang, survei sudah hampir selesai. Kami kelaparan dan segera menuju ke kota Kecamatan untuk mengisi perut. Kami tiba di salah satu dari tiga warung yang tersedia di kota kecamatan itu. Saya, si Jerman, dua orang rekan China bergegas turun dari mobil dan mulai memesan makanan di warung. Menu standar: nasi, telur mata sapi, ayam dan ikan. Salah seorang rekan dari China memesan indomie rebus. Saya baru sadar kalau si City Boy tidak keliatan saat kami selesai memesan makanan. Saya samperin si City Boy di mobil' "Hey, let's have late lunch" (Hei, Ayo Makan Siang). Mukanya nampak sangat miris, dia dengan sedikit enggan bilang gini "I am hungry, but are you sure the place is hygiene? It doesn't look hygiene to me" (Saya lapar, tapi kamu yakin gak tempat in bersih. Sepertinya tempatnya kurang bersih). Rasanya pengen nabok dengar alasan dia, saya timpali saja sang juragan ini:. "Well, the clean and good restaurant will be another four hours. So, you wanna join us?" (Restoran enak dan bersih masih 4 jam lagi dari sini, jadi ikut makan gak bareng kita?). Dengan malas-malasan si City Boy akhirnya bergabung dengan kami di meja warung. Awalnya dia pesan mie instan rebus, setelah itu dia nambah nasi campur satu piring. Lah kok ngelunjak ya. Kayak bukan yang tadi gak mau masuk karena warungnya gak hygiene,
![]() |
Pedalaman Nias selayang pandang |
Setelah makan siang, kami kembali ke Gunung Sitoli. Kami tiba di Gunung Sitoli menjelang pukul 8 malam. Setiba di hotel, kami langsung makan malam dan segera tidur. Pesawat kami kembali ke Medan adalah pesawat pagi, jadi memang harus segera mengistirahatkan tubuh. Istirahat dari kelelahan perjalanan dan ngangon beberapa orang asing yang unik unik. Syukurnya, si City Boy pun tak menderita diare setelah perjalanan ini.
Beri Komentar Tutup comment