Di Slot Gacor Indonesia, istilah global warming atau climate change mungkin lumayan populer. Penyebabnya pun sudah pada tahu kan... greenhouse gas emission. Apa dampaknya untuk bumi ini? Saya juga yakin pasti teman-teman sudah tahu apa dampaknya: suhu bumi perlahan-lahan naik. Sekarang rata-rata suhu bumi sudah naik hampir 1 derajat. (What? cuman satu derajat kok pusing......). Yeah 1 derajat mungkin tak begitu berarti bagi kita di Indonesia. Namun, bagi daerah kutub, kenaikan ini sudah berdampak besar bagi mereka. Dengan kenaikan suhu hampir 1 derajat saja, cuaca sudah mulai tak bisa diprediksi, gimana kalo naik sampai 4 atau 5 derajat yah?
Kita sering merasa bahwa pemanasan global itu slot gacor urusan sepele. Lama-lama juga bisa diatasi. Semoga dengan cerita-cerita berikut ini, teman-teman bisa lebih tergugah untuk sedikit merubah perilaku terhadap lingkungan. Cerita-cerita berikut merupakan cerita tentang tempat-tempat yang penduduknya terancam harus mengungsi karena perubahan iklim, pemanasan global atau apapun namanya. Mereka lah para calon climate refugee (pengungsi iklim)
Sundarbans, Bangladesh
Pasti semuanya masih asing dengan Sundarbans. Sundarbans merupakan wilayah pesisir sepanjang pantai di Bangladesh. Dahulu, masyarakat menggantungkan hidupnya dengan menangkap ikan, beternak sapi dan bertani. Namun akhir-akhir ini, penduduk di sepanjang pantai mulai merasakan kenaikan air laut. Tanggul pun dipasang di sepanjang pantai. Tiap tahun tanggul ini semakin bertambah ketinggiannya karena air laut yang tak kunjung surut. Kondisi geografis tempat ini sangat landai, sehingga kenaikan air laut tidak hanya akan dirasakan oleh mereka yang berada di pesisir namun bisa jauh ke daratan.
Dampak lain dari kenaikan air laut adalah sumber-sumber air bawah tanah mereka jadi ikutan asin. Para penduduk harus berjalan berkilo-kilo meter setiap hari untuk bisa memperoleh air tawar. Selain itu, ternak ternak sapi mereka mati karena tidak sanggup menderita lagi, yah sapi-sapi dimana gak suka minum dengan air asin. Perlahan-lahan, penduduk sudah mulai banyak yang mengungsi ke Dhaka, ibukota Bangladesh karena Dhaka dianggap bisa memberikan harapan. Dhaka sendiri sudah sangat bermasalah dengan perencanaan kota, sanitasi dan over populasi. Dan tahu sendirikan kalau Dhaka tiap tahun dilanda banjir yang semakin hebat dari tahun ke tahun. Padahal kota Dhaka sudah dibentengi dengan tanggul yang melindungi kota. Tapi sepertinya gak anti banjir lagi.
![]() |
Megacity Dhaka, tempat tujuan para pengungsi dari Sundarbans. Pic is taken from www.foxnews.com |
Tentu saja, ini menjadi dilema bagi mereka. Apakah mereka harus menetap dengan kondisi lahan yang semakin parah atau mengungsi ke Dhaka yang juga belum tentu cukup untuk menampung para pengungsi ini.
"When there's a full moon, I can't help thinking of Sundarbans. That's the best time for fishing in the mangrove forest. I still feel it calling to me." - Hamid (pengemudi becak di Dhaka yang mengungsi dari Sundarbans)
Chad
Mirip nama tokoh kartun kan? Sayangnya bukan, Chad adalah nama sebuah negara di Afrika. Selain kenaikan air laut, climate change juga berdampak kekeringan di beberapa belahan dunia. Afrika termasuk daerah yang akan semakin kering seiring dengan makin panasnya bumi. Adalah Danau Chad, yang terletak sangat strategis di empat negara: Niger, Nigeria, Kamerun dan Chad. Danau ini memang sudah menjadi sengketa sejak dulu, namun akhirnya terjadi kesepakatan antara 4 negara tentang pembagian wilayah danau ini. Dulu, orang-orang malah menyebut danau ini dengan "laut" saking berlimpahnya air pada waktu itu.
Namun kondisi danau Chad sekarang sudah berubah drastis karena pemanasan global dan manajemen air yang buruk. Luas danau Chad yang menjadi sumber mata air di empat negara ini mengecil dari 25.000 kilometer persegi menjadi hanya 2500 meter persegi. Mengecilnya danau ini menjadikan Nigeria dan Niger tidak bisa mengakses danau ini lagi karena air danau sudah tidak menggenangi kedua negara ini. Belum lagi kedalaman air yang sekarang cuman sekitar 1 meter. Situasi ini diperparah dengan bau menyengat,sanitasi yang buruh serta kebersihan air yang sudah tidak terjamin lagi. Penyakit kolera pun mewabah. Penduduk mengatakan bahwa mereka tidak merasa yakin menggunakan air danau ini lagi untuk berwudhu karena khawatir apakah air danau ini masih "suci dan mensucikan".
![]() |
Danau chad yang semakin mengecil dan mendangkal. Pic is taken from www.seerealafrica.com |
Banyak yang beralih menjadi petani namun tak banyak yang bisa diharapkan karena pertanian pun butuh pengairan untuk bisa bertahan. Penduduk hanya bisa berharap air yang dulu mereka lihat bisa kembali lagi, karena untuk mengungsi pun mereka tidak tahu harus kemana.
"The more the water disappears, the more the risk of conflict will grow"- Sali Oumar (Chad)
Maldives
Yang terbayang di benak kita tentang Maldives adalah resort resort menawan, pantai yang indah serta laut yang biru. Negara ini memang terkenal sebagai negara kepulauan dengan resortnya yang menawan. Male adalah ibukota Maldives dengan luas hanya 2 kilometer persegi namun dihuni oleh sekitar 100 ribu penduduk. Bayangkan betapa padatnya penduduk di Male. Tentunya untuk menampung penduduk sebanyak itu, dibutuhkan gedung-gedung beton bertingkat serta prasarana pendukung lainnya.
Male ternyata adalah sebuah kota yang berpondasikan batu karang. Dengan penduduk serta infrastruktur seberat itu, Male diprediksikan akan tenggelam karena pondasi karang alami di bawah nya tak mampu lagi menopang kota yang semakin berat ini. Male diibaratkan sebagai kapal yang siap tenggelam. Selain itu, kenaikan air laut sangat berdampak di kota ini meskipun telah dibentengi dengan pemecah ombak di sekelilingnya. Di tahun 1998, Maldives terkena dampak El Nino yang menyebabkan kematian terumbu karang di Maldives. Dibutuhkan 20 atau 30 tahun untuk mengembalikan keadaan ini. Namun dengan kondisi sekarang, iklim sudah tidak bisa diprediksi.
![]() |
Male, the sinking ship. Pic is taken from www.travelinfoflights.blogspot.com |
Masyarakat Male sendiri sudah was was dengan kondisi ini. Katanya masyarakat jadi semakin relijius sejak mengetahui kondisi mereka, terbukti dari jumlah wanita yang mengenakan jilbab yang semakin banyak (saya sendiri kurang begitu setuju dengan hubungan relijius dengan penggunaan jilbab, hehehehe). Mereka sadar bahwa musim sudah semakin tidak bisa diprediksi. Erosi pantai bisa saja menghancurkan pondasi kota mereka, dan kemana mereka harus pergi saat Male sudah tidak bisa dihuni lagi. Ke negara tetangga mereka? India dan Sri Lanka pun sudah cukup bermasalah.
This is my land. I was born here and I want to die here - Ali (Maldivian)
Tuvalu
Nama apa itu? Itu nama sebuah negara bung. Sebuah negara yang terletak di Pasifik, agak jauh di sebelah timur Indonesia. Sama seperti Maldives, Tuvalu ada negara atoll (negara yang terdiri dari pulau pulau yang terbentuk oleh karang). Negara ini haanya seluas 26 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 2 meter di atas permukaan laut. Penduduk negara ini cuman sekitar 12 ribu orang. Sebagai negara kepulauan yang kecil, Tuvalu sudah biasa dengan badai, tsunami dan bencana lainnya. Para leluhur mereka sepertinya sudah bisa memprediksi pergantian musim dan pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi.
Namun, akhir-akhir ini kalender musiman mereka sudah tidak bisa dipercaya lagi. Negara ini semakin banyak mengalami musibah, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Badai dan angin semakin hebat memporak porandakan negara ini. Selain itu, sudah banyak pemukiman penduduk yang sekarang ambruk ditelan kenaikan air laut. Luas pulau semakin mengerut seiring naiknya air laut. Tuvalu diprediksi sebagai negara pertama yang akan terkena dampak dari perubahan iklim. Selain itu, negara ini sudah menyiapkan rencana pengungsian warga mereka besar-besaran ke negara-negara tetangga (Australia, New Zealand, dll).
![]() |
Ombak menghantam pesisir Funafuti, Tuvalu. Pic is taken from www.worldviewofglobalwarming.org |
Perjuangan Tuvalu untuk menghentikan emisi dunia bukan tidak ada. Mereka sempat walk out dengan berlinang air mata di pertemuan dunia tentang perubahan iklim karena suara mereka dianggap minoritas dalam percaturan politik dunia. Mereka meneriakkan pengurangan emisi secara drastis karena dengan jumlah emisi saat ini, bukan tak mungkin Tuvalu akan tinggal nama di tahun-tahun yang akan datang. Ini bukan tentang jumlah mereka yang hanya sekitar sepuluh ribuan, tapi ini tentang terancamnya sebuah peradaban, hilangnya sebuah kebudayaan dan lunturnya kepedulian.
"If I see the sea level rise with my own eyes, I'll agree to leave, but that hasn't happened yet." - Elie (Tuvaluan)
Sebenarnya masih banyak tempat yang mengalami nasib yang sama. Namun, cukup keempat tempat ini saja dulu. Peduli lingkungan bukan hanya dengan "membuang sampah pada tempatnya", "mengurangi penggunaan kresekan", tapi lebih dari itu. Peduli lingkungan bisa sangat luas, termasuk menyebarkan pesan bahwa bukan hanya beruang kutub yang terancam dengan emisi yang kita keluarkan dan plastik yang kita buang, tapi banyak manusia yang terkena imbasnya. Mereka sekarang bimbang apakah harus mengungsi dengan harapan yang tidak pasti, atau tetap tinggal di habitat mereka yang perlahan-lahan akan membunuh mereka.
Inspired by Climate Refugees by Hubert Reeves and Jean Jouzel. A must read book
Beri Komentar Tutup comment