Shin Ramyun dan Kimchi

Akhir-akhir ini kulkas di rumah selalu ada stok kimchi kemasan, dan di lemari dapur pasti ada Shin Ramyun . Seiring dengan maraknya invasi budaya Korea ke tanah air (musik dan film), invasi makanan Korea pun tak terhindarkan. Depan kompleks saya saja sudah beberapa restoran Korea yang terbuka, baik yang bernuansa kaki lima maupun yang konsep resto. Pun di swalayan Jakarta, kehadiran makanan dan bumbu kemasan Korea juga sudah makin mudah untuk dijumpai. Bagi saya, ini adalah sebuah keuntungan, saya makin gampang memperoleh Kimchi dan Shin Ramyun. Tak seperti beberapa tahun lalu, keberadaan kedua produk ini sulit untuk didapatkan. Kerap ada masa, dimana saya tiba tiba kepengen nyicip kimchi ataupun makan Shin Ramyun, tapi sulit sekali cari produknya. 

Kok saya bisa kadang-kadang kepengen makan makanan Korea itu? Apakah karena ikut-ikutan demam K-Pop seperti kebanyakan rekan-rekan yang memang sudah lama menggemari serial maupun musik Korea? Atau, memang hobi sama makanan bertema Korea? Jawabannya tidak. Kadar kegemaran saya akan serial Korea terbilang biasa saja, cuma menonton Reply 1988 sama Sky Castle bersama istri. Pengetahuan saya akan makanan Korea pun boleh terbilang sangat cetek, cuma tahu tteokbokki sama bibimbap doang.  

Saya sering dihinggapi keinginan untuk makan Kimchi dan Shin Ramyun secara tiba tiba. Keinginan yang kadang tiba-tiba muncul ini sebenarnya dipicu akan kenangan saya tentang sebuah masa dalam hidup saya, saat berada sangat jauh dari orang tua.  

Kenapa menggemari Shin Ramyun? 

 Di pertengahan 2004 (jadi tahu deh kisaran umur saya), saya kebetulan mendapatkan beasiswa selama satu semester untuk mengikuti pertukaran mahasiswa di sebuah kota kecil di Jepang bernama Saga, sebuah prefektur yang terletak di Pulau Kyushu. Programnya bernama Saga University Program for Academic Exchange atau SPACE, sebuah program pertukaran yang diikuti oleh 20 mahasiswa/ mahasiswi per tahun  dari beberapa negara (link programnya bisa dilihat disini). 

with my classmates, SPACE 2004

Secara akademik, saya cukup bisa mengikuti pelajaran selama program ini. Saya pun mendapatkan banyak teman yang hingga sekarang juga masih kontak, meski proses komunikasi kami terus berubah mengikuti transformasi sosial media dari friendster/myspace hingga facebook dan instagram. Nah, yang saya agak kewalahan adalah urusan dapur selama di sana. Pas kuliah di Makassar sih gampang, saya bisa masak nasi terus tinggal beli lauk yang porsi kuli dengan harga kaki lima. Atau, masak Indomie sama telur, sudah bisa kenyang. Nah di Jepang lain cerita, kalau beli makanan di luar terus bisa bocor dompet saya, maklum anak S1 beasiswanya pas-pasan hahaha. Mau beli mi instan juga terkendala dengan kandungan bumbu mi instan di sana yang sebagian besar menggunakan "buta" 豚肉atau daging babi. Praktis, saya mengandalkan stok mi instan dan abon dari Indonesia untuk bertahan (Cerita lengkap lika liku hidup saya dalam dunia perdapuran internasional bisa disimak di tautan ini). Meski hidup saya di sana diselamatkan oleh Thapa, mahasiswa S3 Nepal yang bersedia menjadi chef handal dan menjadi dewa penolong saya untuk bisa bertahan hidup. Sebelum bertemu Thapa, menu makan saya di Saga, boleh dibilang sangat nelangsa. 

Hanya butuh waktu sebulan di Saga, untuk memproklamirkan bahwa persediaan abon dan Indomie saya menipis. Kota Saga, yang meskipun adalah ibukota sebuah prefektur, kala itu ternyata tak memiliki toko halal. Sehingga, saya harus memutar otak untuk mencari sumber makanan yang "cukup" aman untuk dikonsumsi. Berbekal kanji dasar "buta" alias daging babi dan pengetahuan katakana dan hiragana saya yang masih sering tertukar-tukar, saya jadi menjelajahi rak rak makanan di toko swalayan di dekat kos saya. Saya biasanya akan mengambil kemasan makanan dan mengamati setiap huruf kanji, katakana dan hiragana yang tertera dalam informasi bahan bahan kandungan di setiap kemasan. Saat menemukan kanji "豚肉" (buta niku atau babi)" atau huruf  katakana ポーク  (pork) dan ラード (lard), saya akan mengembalikan kemasannya ke tempat semula. 

Pencarian saya akan sumber makanan baru yang cukup aman berbuah hasil saat saya menemukan Shin Ramyun, mie Korea yang saat itu lagi hits karena kegilaan warga Jepang akan serial drama Korea "Winter Sonata" dengan pemeran utama Yon Sama (ini nama peran dalam Winter Sonata). Gempuran produk Korea cukup masif waktu itu masuk ke dalam swalayan di Jepang. Saat saya mencoba membaca ingredients-nya pun, saya tidak menemukan indikasi bahwa Shin Ramyun ini ada kandungan buta/pork maupun lard, malah disitu dibilang seafood flavor. Jadi hemat saya, ini aman untuk dikonsumsi. Pulang dari swalayan, saya langsung mencoba mi instan asli Korea ini, dan ternyata aromanya menggugah selera, sensasi kuahnya yang pedas lezat sangat pas dengan lidah saya yang memang penyuka pedas. 

Shin Ramyun (gambar diunduh dari tautan ini)

Eom Dae Won, teman asrama saya yang berasal dari Korea langsung menghampiri saya, "Hey are you eating Shin Ramyun? The smell is so familiar" (Eh, kamu lagi makan Shin Ramyun ya? Aromanya saya kenal).

"Yes, this is the noodles that have no pork stated in the ingredients" (Iya, mi instan ini yang di daftar bahannya tidak mengandung babi), jawab saya. 

"Yes, I bet you like it. People love it in Korea" (Ya, saya yakin kamu suka rasanya. Di negara saya, orang orang suka banget makan mi ini), kata Dae Won. 

"I love it" (Saya suka banget rasanya), jawab saya sembari menyeruput kuah pedas yang tersisa. 

Sejak saat itu, Shin Ramyun selalu ada di loker dapur saya di asrama. 

Kok Suka Kimchi?

Bagi yang pertama mencoba kimchi, mungkin memang akan merasa aneh dengan rasanya, pun dengan baunya yang mungkin tercium seperti tabung gas yang bocor. Perkenalan saya dengan Kimchi, terjadi di awal Desember 2004. Saat itu kampus sedang libur, musim dingin sedang menyelimuti Jepang, dan banyak kalangan pekerja yang mulai mengambil cuti. Menjelang natal memang banyak pekerja yang mulai mengambil cuti untuk menikmati liburan bersama keluarga. Otomatis sektor industri mengalami kekurangan tenaga kerja, sedangkan kebutuhan akan barang semakin meningkat menjelang natal. Memanfaatkan waktu libur mahasiswa, beberapa pabrik membuka kesempatan bagi para mahasiswa dan mahasiswi yang ingin bekerja. Hitung-hitung simbiosis mutualisme, pabrik dapat tenaga kerja temporer, mahasiswa yang punya waktu lowong bisa dapat duit tambahan. Saya? Belum berani kerja dimana-mana, bahasa Jepang saya baru di Iqro 2, baru bisa ngomong perkenalan doang. Apalagi kanji, kemampuan saya masih sangat dasar. Saya cukup tahu diri untuk tidak melamar pekerjaan dengan kemampuan bahasa saya yang payah. 

Sampai suatu pagi, Ichimaru San, kepala asrama kami menginformasikan bahwa sebuah pabrik di dekat asrama membutuhkan tenaga mahasiswa asing untuk arubaito (bekerja paruh waktu) untuk membantu proses produksi mereka, no Japanese language requirement. Katanya perusahaan ingin mencoba memberikan pengalaman kepada para mahasiswa internasional bagaimana rasanya bekerja di pabrik Jepang. Saya jadi pendaftar pertama, diikuti teman-teman kelas saya yang lain. 

Di hari pertama masuk kerja, jam 6 pagi, saya dan teman-teman sudah harus bersepeda ke pabrik untuk melakukan arubaito kami. Bersepeda di suhu di bawah 5 derajat di pagi hari sudah sebuah penderitaan, belum lagi kalau angin lagi kencang, rasanya pengen balik ke kamar dan rebahan didalam pelukan futon. Saat kami memasuki kawasan pabrik, kami disambut oleh bagian personalia yang memberi kami kartu untuk clock in dan clock out. Hal yang pertama yang kami lakukan di pagi hari adalah senam Taiso, ini adalah senam yang jamak dipraktikkan di pabrik-pabrik di Jepang untuk stretching dan menghidupkan mood para pekerja. Setelah itu, kami diarahkan ke pos masing masing. Saya dikirim ke pos pengepakan, di mana tugas saya adalah memasukkan produk yang sudah dikemas ke dalam kardus. Produknya apa? tak lain dan tak bukan adalah KIMCHI saudara-saudara. Sementara teman-teman seasrama lain sudah berpencar di tempat penugasannya masing-masing. Awalnya, saya sungguh merasa tersiksa dengan bau kimchi yang tercium seperti cuka. Apalagi, saya di pabriknya, jadinya bau kimchi terasa bau cuka kuadrat, sangat menyengat pemirsah. Namun, lama-kelamaan saya mulai terbiasa dan akhirnya di hari kedua saya bekerja sudah tak mempengaruhi konsentrasi saya lagi.

Kimchi (Gambar diunduh dari tautan ini)

Bekerja di pabrik sungguh membutuhkan kedisiplinan yang tinggi. Kadang saya sambil mengepak kimchi ke kardus, saya bersenandung lagu dangdut untuk mengusir rasa bosan dan jenuh. Namun, saat para pekerja Jepang yang berada di pos yang sama dengan saya mendengar saya bersenandung, mereka menatap saya dengan tatapan pelebur sukma. Entah mereka terganggu dengan selera lagu dangdut saya yang koplo abis atau senandung saya. Saat salah satu teman seasrama yang berasal dari Asia Selatan ditempatkan di pos saya, dia ikut mengepak produk. Dia sepertinya tak kuasa bekerja dalam diam, jadi dia mengajak saya untuk ngobrol sembari bekerja. Saya yang juga jenuh dengan rutinitas mengepak, menyambut ajakan ngobrol teman dari Asia Selatan ini. Mendengar percakapan kami, lagi-lagi kami mendapatkan tatapan seribu jarum dari  para pekerja Jepang. Saya pun sontak terdiam dan kembali menekuni kemasan-kemasan kimchi yang berada di depan saya. 

Waktu makan siang adalah kesempatan saya untuk mengenal teman teman pekerja dari Jepang, karena hanya dalam kesempatan ini mereka bercakap dengan lepas dengan sesama pekerja lain. Namun, lagi-lagi kendala bahasa membuat saya hanya bisa bercakap beberapa patah kata, untuk selanjutnya berkomunikasi dengan bahasa isyarat serta bahasa tubuh. Mereka takjub (lebih tepatnya sedih) saat mereka melihat isi obento (kotak makan siang) saya yang warnanya sangat menyedihkan: putih (nasi), cokelat (abon) dan kuning pucat (telur dadar). Sementara, isi obento mereka 4 sehat 5 sempurna dengan penampakan yang menggugah selera serta warna makanan yang cerah ceria. 

Bekerja di pabrik kimchi tentu membuat saya sempat dihadiahi kimchi dari pabrik buat dibawa ke rumah. Awal-awal mencoba, saya sangat tidak doyan. Namun, karena sering bersama Dae Won yang orang Korea, saya jadi terdorong untuk mencoba kimchi, dan lama-lama mulai suka. Sayangnya saat tahun 2005 kembali ke Indonesia (tepatnya di Makassar), saya kesulitan untuk mendapatkan stok kimchi. Jadilah pelan-pelan Kimchi terlupakan dalam memori saya. 

Kimchi and Shin Ramyun bersatu   

Saat ini, dengan maraknya produk-produk makanan Korea di Indonesia, keinginan saya yang kerap tiba-tiba muncul untuk mencoba Kimchi dan Shin Ramyun sudah sangat mudah terakomodasi. Tinggal ke convenient store yang tersebar di seantero Cibubur, saya bisa dengan mudah mendapatkan Shin Ramyun juga Kimchi dengan harga yang terjangkau. 

Berpadu di meja saya 

Kerap sambil menikmati Shin Ramyun dan Kimchi saya terbawa ke masa-masa kuliah di pelosok Jepang sana. Menyesap kuah Shin Ramyun sembari mengunyah kimchi membawa saya kembali ke tahun 2004, betapa saya merindukan asrama dan teman-teman saya. Betapa saya merindukan untuk kembali ke Saga. 

    

Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.