Ke Luar Negeri Pertama


Setiap kita pasti memiliki kenangan tersendiri tentang pengalaman pertama ke luar negeri. Mungkin dalam lawatan pertama ke luar negeri tersebut, terselip cerita unik, cerita menegangkan atau mungkin malah cerita lucu yang membekas dalam ingatan. Saya pun demikian, pengalaman pertama saya ke luar negeri terjadi saat masih mahasiswa S-1 semester sekian untuk mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa. Kebetulan, kampus yang saya tuju adalah Saga University di Jepang. Sampai sekarang saya masih bingung dengan istilah "student exchange"yang menjadi label program yang saya ikuti ini, karena saya tidak melihat adanya pertukaran antara mahasiswa kampus saya (yang hobi tawuran itu) dengan kampus Saga. Yang terjadi adalah, saya yang dikirim ke kampus Saga University selama beberapa bulan dan entahlah saya dibarter dengan apa, tidak ada mahasiswa kampus sana yang main ke kampus saya. 





Saat itu, tahun 2004. Pengalaman naik pesawat saya masih sangat minim (baru dua kali) dan saya belum memiliki pengalaman apapun tentang penerbangan keluar. Akses internet pun masih terbatas, saya harus rajin ke warnet untuk berkoresponden dengan pihak Saga University terkait dokumen kelengkapan dan persiapan asrama, dan segala tetek bengek yang lain. Saya sendiri was-was karena untuk tahun itu, peserta dari Indonesia cuma saya seorang. Tahun sebelumnya dan tahun setelahnya, Indonesia selalu kebagian tiga orang. Yang artinya, untuk tahun itu saya akan berangkat sendiri ke Jepang. Kalau bingung di jalan artinya bingungnya buat saya sendiri, nggak jadi bingung berjamaah. 




Paspor pertama, boarding pass ke Kansai, tiket penerbangan dan bukti pembayaran fiskal






Pengurusan dokumen saya lakukan sendiri dengan bantuan petunjuk dari senior-senior yang sedang dan telah menempuh program ini. Untungnya saat itu, ada konjen Jepang di Makassar jadi mengurus visa tidak perlu jauh jauh. Seminggu sebelum berangkat, semua dokumen sudah di tangan. Saya merasa bangga sekali bisa punya passport kala itu, plus dibubuhi dengan visa Jepang. Namun, semakin dekat hari keberangkatan, saya juga semakin was-was, karena itinerary saya ternyata tidak sesimpel Indonesia - Jepang. Saya harus terbang tiga kali dan masih harus naik bus dua jam lebih untuk tiba di Saga. Pesawat Makassar - Jakarta, lanjut Jakarta - Osaka, kemudian mengambil penerbangan Osaka - Fukuoka dan dilanjutkan dengan bus Fukuoka - Saga. Nyali saya sempat ciut. Saya yang belum pernah travel sendiri, bermodal bahasa Jepang Iqro' 1 dan nol pengalaman ke luar negeri plus itinerary yang cukup panjang, kemungkinan saja bisa ketinggalan pesawat atau malah tersesat di tengah perjalanan. 





Tibalah hari H yang dinanti-nantikan. Tanggal 30 September 2004 pukul 16.50 WITA, saya bertolak dari Makassar ke Jakarta. Berhubung sudah pernah naik pesawat domestik dua kali, saya belum mendapat rintangan apa-apa. Namun, kenorakan saya muncul saat pramugari lewat dan menawarkan makanan, awalnya saya mau menolak karena saya pikir makanan itu akan ditagihkan ke saya. Ternyata tidak. Maklum, baru pertama kali naik Garuda, hehehe. 





Tiba di Jakarta, saya harus menunggu sekitar 5 jam sebelum keberangkatan saya ke Osaka. Biasanya penerbangan luar negeri memang berangkat nya tengah malam. Bergegas saya menuju ke counter check in Japan Airlines (JAL). Saya disambut oleh seorang mas yang super ramah. Saya mengangsurkan paspor dan tiket ke mejanya. Dia membolak-balik paspor saya sambil sesekali mencocokkan foto hampir tersenyum saya di paspor dengan wajah dekil penuh was-was di seberang mejanya. 





"Pertama kali keluar negeri yah Dek? Ini paspor nya baru isi satu visa", kata si Mas dengan ramah.  





"Iyah.....", saya mengangguk gugup. 





"Ikut kegiatan apa mas di Jepang?" 





"Saya ikut exchange Mas..... Saya deg-degan karena baru pertama kali ke luar negeri", ujar saya sambil berusaha rileks. 





"Oh gitu, saya dulu juga ikut exchange ke Jepang. Wah semoga sukses yah. Ini saya kasih seat jendela kelas Bisnis. Itu bonus karena kita sama sama anak exchange", kata si Mas sambil tersenyum. 





Saya yang waktu itu belum terlalu ngeh dengan perbedaan kelas bisnis dan kelas ekonomi manggut-manggut saja, lalu mengucapkan terima kasih. 





Selanjutnya saya harus melalui pos pembayaran fiskal luar negeri yang pada tahun 2004 masih diwajibkan kepada WNI yang akan ke luar negeri. Bagi yang tugas belajar sebenarnya bisa mendapat pembebasan fiskal luar negeri dengan syarat ada pengantar dari kampus. Dasar saya ceroboh, saya lupa mengurusnya saat masih di Makassar. Beberapa teman yang ikut program pertukaran sebelumnya toh bisa lulus gak bayar fiskal tanpa harus mengurus surat sakti tersebut di kampus masing-masing. Namun, rupanya saya dapat petugas yang tegas dan tidak memberikan bebas fiskal yang saya request langsung dengan bukti surat undangan dari Saga University. Katanya, bukti itu saja tidak cukup tanpa ada pengantar pembebasan fiskal dari kampus. Uang sejuta rupiah pun melayang demi secarik tanda bukti bebas fiskal luar negeri. 





Pesawat JL 714 yang saya tumpangi bertolak dari Jakarta ke Osaka sesuai jadwal pukul 22.50 WIB. Itu pertama kalinya saya naik pesawat besar. Berhubung kelas saya bisnis, tentunya seat saya jauh lebih lapang dari mereka yang di kelas ekonomi. Pun pilihan in-flight entertainmentnya, saya memuaskan diri menonton film film yang disajikan. Pramugari tak henti-henti nya menawarkan makanan dan mendahului nya dengan menawarkan handuk hangat. Tersedia menu Indonesia dan menu Jepang. Dasar norak, saya minta menu Indonesia plus berbagai jenis minuman mulai dari susu dan beraneka jenis jus. Setelah puas dan kenyang, saya terlelap di kursi nan empuk itu. Saya terbangun saat pesawat JL 714 mulai meninggalkan ketinggian jelajah. Saya sudah bersemangat ingin segera menginjakkan kaki di Jepang. Sekitar pukul 7 pagi, pesawat mendarat dengan mulus di Kansai Airport. 





Sesampai di Kansai saya harus segera bergegas mengejar pesawat lanjutan ke Fukuoka untuk penerbangan pukul 9.30 pagi dengan pesawat ANA. Urutannya adalah saya harus melewati imigrasi, mengambil bagasi dan check-in di counter ANA. Apesnya, antrian imigrasi ternyata masih sangat panjang. Saya sudah mulai gelisah sambil berdoa agar saya tidak ketinggalan pesawat. Saya berkenalan dengan seorang mahasiswi IPB bernama Rena yang juga ternyata ikut program pertukaran ke Okinawa dan mengalami masalah yang sama dengan saya: mengejar pesawat ke Okinawa jam 9.30 juga. Saya yang lagi antri tak sengaja melihat wajah gelisah Rena yang antri persis di belakang saya.



"Mbak, maaf.. orang Indonesia ya?", tanya saya menyelidik sambil berharap cewek ini beneran orang Indonesia. 

"Iya!!! Alhamdulillaaaah ada temen!! Bisa bahasa Jepang kan,mas???barengan dong, aku ga bisa baca kanji nih", Rena nampak gembira punya teman berbagi kegelisahan. 




Meski harapan Rena untuk bertemu dengan orang Indonesia yang bisa kanji tidak terpenuhi, toh kami akhirnya bisa berbagi kecemasan kami, kami sama-sama terancam ketinggalan pesawat. Saat berangkat ke Jepang, boro-boro saya bisa kanji, katakana sama hiragana saja masih sering tertukar tukar. Paling cuma jikoshoukai (perkenalan diri) saja.  


Setelah antri selama lebih sejam, saya dan Rena berlari menuju tempat pengambilan bagasi. Kami mengelilingi conveyor belt namun koper kami raib entah kemana. Kami panik dan khawatir ditinggalkan oleh pesawat, saat itu sudah lewat pukul setengah sembilan. Segera kami menghampiri petugas yang lewat dan mencoba menjelaskan masalah kami. Dengan bahasa Inggris versi meracau kami, toh si Bapak bisa mengerti. Kata si Bapak, koper kami diamankan dari conveyor belt karena koper kami kelamaan di conveyor belt dan penerbangan selanjutnya akan menggunakannya. Alhamdulillah, koper kami selamat, aman dan sentosa. Selanjutnya, mencari dimana counter check-in ANA. 





Kami mendekati seorang Bapak petugas bandara untuk bertanya lokasi counter check in ANA. Saat panik seperti itu kami sudah tidak memperhatikan papan penunjuk di sekeliling kami. 





"Do you know where's ANA check in counter? I want to go to Fukuoka and my friend wants to go to Okinawa", kata saya dengan napas ngos-ngosan sambil narik koper gede. Rena ikut di belakang saya.




"Okinawa?? Fukuoka?? Eh.....???", si Bapak nampaknya nggak bisa Inggris. Waduh, ini kan bandara internasional. Petugasnya kudu bisa Inggris dikit dikit dong, minimal Inggrisnya Iqro' 3 lah. 





"SIR, I WANT TO GO TO FUKUOKA AND MY FRIEND WANTS TO GO TO OKINAWA", saya sekali lagi menyatakan tujuan kami. 





Si Bapak makin melongo. 





Mau tidak mau saya dan Rena mengeluarkan jurus pamungkas: Bahasa Isyarat sambil nunjukin tiket kami berdua. Kami berusaha menggunakan semua bahasa isyarat yang kami punya agar si Bapak mengerti.  




Bertemu Rena lagi saat kunjungan saya ke Okinawa





Akirnya si Bapak mengerti (saatnya sujud syukur), kami segera digiring ke counter check in ANA. Saya berpisah dengan Rena setelah kami bertukar alamat email dan alamat friendster (jadul banget yah). Untungnya, saya bisa check-in. Di ruang tunggu, saya baru bisa menarik nafas lega. Saya mulai mengedarkan pandangan dan mencoba mengidentifikasi apakah ada peserta exchange student Saga University lain yang satu pesawat dengan saya. Di ujung sana, nampak seorang cowok berkulit putih yang juga nampak kebingungan. Di list peserta di tangan saya, satu-satunya cowok bule yang terdaftar di program saya adalah peserta dari Prancis. Saya menghampiri dia. 





"Hi, are you from France?", (ini jenis sapaan yang sangat sok dekat sok akrab, sangat tidak dianjurkan sebagai pembuka percakapan. Lawan bicara akan menyangka bahwa anda mata-mata sindikat tertentu jika memulai percakapan dengan kalimat ini). 





"Yeah, how do you know?" dia menatap saya curiga. 





"Mmmm are you Samuel", tanya saya. 





"Yeah......," Samuel menjawab dengan ragu-ragu. 





"I am Cipu from Indonesia. We'll be in the same class in Saga", kata saya mengulurkan tangan. 





"Oh Wow.... You join the exchange too? I didn't expect I'll meet a classmate this quick. I am Samuel from France". 





Kami berjabat tangan, lalu mulai ngobrol ngalur ngidul hingga panggilan untuk boarding ke pesawat.




Saga location and how to reach Saga from Narita Airport and Kansai Airport (retrieved from http://www.asobo-saga.jp/lang/english/world.html)






Sesampai di Fukuoka, kami sudah disambut oleh tim penjemputan Saga University. Ternyata ada peserta pertukaran yang lain yang juga satu pesawat dengan saya dan Samuel. Yama dari Vietnam, Kang dari Korea Selatan, Kiki dan Lili dari China. Dengan bus bandara, kami menuju Saga dan mulai berkenalan satu sama lain. Setelah 2 jam, kami tiba di Saga dan diantar dengan van ke asrama kami masing-masing. Berita baiknya, Saya, Yama, Samuel dan Kang berada dalam satu asrama yang bernama Seifu Ryo, jadi saya sudah punya teman di asrama. 





Segera setelah sampai di Saga, saya menelepon Mama di kampung saya, Sidrap. "Ma, Saya sudah sampai di Saga........" 





"Alhamdulillah, Nak" sahut Mama yang terdengar sangat gembira mendengar suara anak bungsunya nun jauh di mato. 





"Gimana situasi di sana Nak" tanya Mama. 





"Saya tinggal di asrama Ma. Dan di sekitar asrama saya banyak sawah", jawab saya. 





"Yah kalau mau lihat sawah, ngapain jauh jauh ke Jepang. Di Sidrap juga banyak, hahahaha", kelakar Mama. 





#Jleb





Saya sudah tiba di Saga dan disambut dengan cuaca Saga yang mulai dingin. It was my first day abroad and I still clearly remember the ambience of Seifu Ryo dormitory and Saga City. I really wish to come back again in Saga (not for study for sure, for a short trip maybe) 








Cerita ini terinspirasi oleh Dokumen perjalanan ke Jepang dan paspor pertama secara tidak sengaja saya temukan di salah satu boks buku di rumah. Makanya tercetus ide untuk menulis postingan ini.



Saya dan Rena sampai sekarang masih saling komunikasi dan rencana reunian minggu depan gara-gara postingan ini 

Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Beri Komentar Tutup comment

Disqus Comments

Search This Blog

Powered by Blogger.